Cahpter 11 | Permintaan Maaf

310 26 3
                                    

Melangkah lamban namun pasti aku memasuki ruangan bernuansa putih yang di dalamnya terdapat banyak bangku dan meja berjejer rapih serta sebuah meja besar yang terletak tak jauh dari papan tulis. Melihat ketiga temanku yang sudah datang lebih dulu, aku menghembuskan napas berat sebelum akhirnya melangkah menuju kursi kosong di samping Davina.

"Arunika! Gimana dinner-nya semalem?" Tanya Erlara saat aku  baru saja menempelkan bokong di kursi.

Aku duduk menyamping menghadap Davina, lalu menatap Erlara dan Karina yang berada di belakangku secara bergantian.

"Pasti romantiskan? Di pinggir pantai, di temenin bintang-bintang, ditiup angin pantai," ucap Karina dengan mata berbinar  sepeti tengah membayangkan apa yang ia ucapkan.

Aku menatap Davina sendu. "Are you okey?" Tanyanya.

Aku menghela napas sambil menunduk, "I am sorry," cicitku.

"What are you doing?" Tanya Karina heran.

"Iya, kenapa minta maaf?" Tanya Erlara lagi, kali ini nada suaranya terdengar heran.

Aku memberanikan diri mangangkat kepala menatap mereka secara bergantian, "Dinner-nya gagal, maaf," jawabku akhirnya.

"HAH?!" Pekik Erlara dan Karina bersamaan.

"Kok bisa gagal si Ar? Kan lo udah pergi sama Ka Sagara semalem," tanya Erlara semakin terlihat heran.

"Gue sama Ka Sagara udah sampe di pantai, tapi ada sesuatu yang buat gue batalin dinner semalem," sahutku tanpa memberi tahu dengan jelas penyebabnya.

Erlara mengernyit. "Apa alasan yang buat lo batalin makan malam romantis itu Ar?" Tanyanya lagi.

"Maaf, tapi gue enggak bisa kasih tau," jawabku membuat Erlara menatap kecewa.

"Kok lo egois si Ar?" Ucap Erlara membuatku menghela napas.

"Karena Ka Giral?" Tanya Karina kali ini.

"Enggak ada sangkut pautnya sama Ka Giral," jawabku sambil menggeleng.

"Ya kalo bukan karena Ka Giral, terus kenapa lo batalin Ar? Kasian loh Ka Sagara udah siapin semuanya sendiri. Kalo dari awal lo enggak mau, ya bilang. Jangan main diiyain aja!" Kesal Erlara meninggikan suaranya.

"Ra cukup," sela Davina menengahi.

Davina yang sudah bersahabat denganku sejak SMP, pasti tahu betul apa yang aku rasakan. Davina adalah satu-satunya temanku yang tau kejadian itu, dia juga tau bagaiman keadaanku setelah peristiwa itu menimpaku.

"Vin, temen lo ini salah. Jangan lo belain terus. Lo sebagai sahabat harusnya ngingetin dia kalo apa yang dia lakuin itu salah," ucap Erlara menatap sengit Davina.

"Arunika punya alasannya sendiri–"

"Ya apa?! Lo pasti tau kan alasannya, tapi kalian enggak mau gue sama Karina tau. Sahabat macam apa kalian yang enggak mau terbuka sama sahabatnya sendiri?" hardik Erlara padaku dan Davina.

"Maaf, ini semua salah gue!" Kataku lantang.

Aku berdiri dan memilih meninggalkan kelas. Tujuanku sekarang adalah lapangan basket karena biasanya tempat itu sepi di pagi hari seperti ini, setidaknya menenangkan diri di sana sampai bel masuk berbunyi cukup untuk saat ini.

Setelah sampai, aku memilih duduk di tribun penonton bagian bawah. Tebakkanku benar, saat ini lapangan basket lumayan sepi. Hanya ada seorang siswi yang tidak aku kenal sedang membaca buku di tribun bagian atas.

Aku memejamkan mata menenangkan pikiranku yang ramai. Udara pagi ini cukup sejuk, mengingat subuh tadi baru saja turun hujan yang sisa airnya masih menetes dari langit.

ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang