31. Caffe

2.4K 454 111
                                    



"Kau mau pergi kemana pagi-pagi begini?" Tanya Jeno ketika melihat Renjun yang tengah bersiap-siap.





"Bekerja."






"Kau bekerja? Sejak kapan? Dan sebagai apa?" Pertanyaan beruntut dari Jeno tidak langsung mendapatkan jawaban dengan cepat, membuat pemuda itu kembali bersuara. "Apa kau bekerja sebagai maskot babi lagi? Dan sudah mendapatkan kontrak begitu?!"










Renjun mendelik sebal ke arah Jeno. "Tentu saja aku harus bekerja dan bukan sebagai babi! Impianku masih jauh di depan sana! Kau tahu orang-orang bilang hidup dimulai ketika usia kita menginjak 18 tahun, karena kehidupan ku sudah di mulai aku tidak boleh membuang banyak waktu lagi."








"Bukan kah itu omong kosong? 18 tahun bukan tentang bagaimana kau memulai hidup, tetapi itu adalah suatu proses dimana kau sudah harus tumbuh menjadi dewasa!"











"Intinya sama saja, aku harus bekerja keras agar bisa mengikuti kelas dan mendapatkan sertifikat! Karena aku tahu ini akan membutuhkan waktu yang lumayan lama maka dari itu aku berusaha dari sekarang." Kata Renjun sambil menjinjing tas yang terbuat dari kertas, bersiap untuk pergi.











"Itu sebabnya belakang ini kau tidak mempunyai waktu untuk ku." Gumam Jeno dengan nada merajuk.








"Hah? Kau bicara apa?"








"Kau belum menjawab pertanyaanku; sudah berapa lama kau bekerja dan dimana?"








"Caffe Azalea dua Minggu yang lalu." Kalimat balasan yang Renjun ucapkan, setelahnya mendadak hening. "Aku akan berangkat sekarang, aku sudah memasak nasi dan lauk pauknya jika kau menyukainya, kau boleh memakannya."








Jeno menahan lengan Renjun yang hendak pergi. "Kau ingin aku antar?"









"Perasaanku saja atau memang akhir-akhir ini kau terlihat peduli padaku?" Sontak pegangan tangan Jeno terlepas, pemuda Jung mengambil nafas berat seakan baru sadar akan sikapnya pada Renjun belakangan ini.









"Ah... Itu hanya bentuk kepedulian kan?" Renjun tersenyum kecut dan Jeno hanya terdiam melihatnya. Pandangannya beralih pada jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Aku hampir terlambat dan harus berangkat sekarang. Ah.. ya, aku akan pulang sekitar pukul delapan malam." Senyuman di bibirnya semakin melebar hingga membuat mata Renjun menyipit tanpa sadar, dia berujar penuh semangat untuk menghadapi harinya yang mungkin melelahkan.








Bahkan Jeno bisa melihat dikala punggung itu yang selalu berdiri tegak, menandakan Renjun benar-benar serius dengan mimpi dan ucapannya.








Setelah kepergian Renjun, Jeno memutuskan untuk makan di dapur, dia lapar.











Untungnya Renjun sudah memasak sebuah nasi dan sayur bening yang tidak terlalu berat. Dalam beberapa bulan ini Renjun belajar segala tentang kesukaan Jeno, kenapa Jeno baru menyadari semua ini ya?











Dibalik tindakannya yang terkesan konyol. Renjun ternyata cukup pintar untuk tidak membuat Jeno kecewa kedua kalinya dengan hasil masakannya, secara diam ternyata Renjun peduli padanya.










Jeno tersenyum tanpa sadar ketika merasakan masakan yang Renjun buat. "Ini masih terlalu pedas." Padahal itu hanya rasa dari merica bubuk yang Renjun masukan. "Tapi dia sudah berusaha keras."








Young Married | NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang