Aku keluar dari taksi setelah membayar tagihanku. Bandara Incheon penuh dengan lautan manusia. Ada yang memang sedang menunggu penerbangan, ada yang baru saja lepas landas, dan ada juga yang mengantar-jemput para penumpang.
Dengan panik, aku bergegas menelusuri jadwal penerbangan pada running text di dinding. Pesawat menuju Amerika Serikat akan berangkat lima belas menit lagi. Setelah mengetahui di mana pintu keberangkatannya, aku segera menuju ke sana.
Dari jauh, aku bisa melihat ibu Jimin. Ia menarik koper berukuran sedang, sementara suaminya menyeret koper besar. Anak mereka berlarian kecil di depan keduanya. Membuat ibu Jimin terus-menerus memanggilnya dan menyuruhnya untuk berhati-hati.
"Jimin Eomma!" teriakku.
Wanita yang kupanggil menoleh ke kanan dan ke kiri. Saat melihatku, ia tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku bergegas menuju ke arah keluarga kecil yang sebentar lagi akan pergi dari negara ini.
Melihatku yang terengah-engah, wanita di hadapanku segera mencari air minum. Diangsurkannya sebotol air mineral padaku, tetapi aku menolak. Namun, ia bersikeras memberiku air hingga aku terpaksa menerimanya.
"Duduklah," ajaknya seraya membimbingku menuju kursi ruang tunggu.
"Pesawat Anda?" tanyaku seraya duduk di salah satu kursi.
"Masih ada waktu beberapa menit lagi," balasnya. Kemudian, ia menoleh pada suaminya. "Yeobo, ini Ga Eun, teman Jimin. Ah, teman dekat Jimin."
Aku sedikit membungkukkan tubuhku untuk memberi salam. Lelaki seumuran ayah Jimin itu ikut menganggukkan kepalanya. Berbeda dengan ayah kandung Jimin, lelaki ini terlihat lebih pendiam.
Sementara itu, adik tiri Jimin bermain dengan robot yang sedari tadi ia genggam. Bocah cilik tersebut tampak normal, tetapi wajahnya memang terlihat agak pucat. Aku tidak bisa membayangkan ia akan seperti Na Na.
Rambut hitamnya yang tebal sewaktu-waktu bisa rontok akibat kemoterapi. Juga tubuhnya yang berisi akan mengurus. Hilangnya binar di matanya secara berangsur-angsur, berbeda dengan saat kami pertama kali bertemu.
"Yeobo, aku akan mengajak Junghyun melihat-lihat," kata lelaki di depan kami.
Ibu Jimin mengangguk dan tersenyum padanya. Tak lama, kedua laki-laki tadi telah berlalu dari hadapan kami. Wanita di sebelahku merapatkan duduknya padaku. Beberapa saat kemudian, tangannya yang hangat menggenggam tanganku.
"Bagaimana kabarmu, Ga Eun-ssi?" tanyanya.
"Saya baik-baik saja. Bagaimana dengan Anda?" Aku balik bertanya.
Wanita itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Baik, aku juga baik. Apa yang membawamu ke sini?"
Setelah mengumpulkan keberanianku, aku yang gantian mengajukan pertanyaan. "Umm, apa benar Anda tidak akan kembali ke Korea?"
Matanya yang indah terlihat sedikit sendu. "Aku tidak tahu kapan kami bisa kembali ke sini. Kondisi Junghyun memburuk, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa."
Aku tidak membalas kata-katanya dan memilih untuk menggenggam tangannya.
Wanita setengah baya yang masih cantik itu kembali meneruskan bicaranya, "Kemarin, dia muntah-muntah. Katanya itu gejala awalnya saja. Dokter mengatakan hal-hal buruk bisa menimpanya di kemudian hari. Aku tidak ingin percaya, tapi melihat kondisi anakku membuatku mulai tidak yakin."
Lalu, Jimin? Bagaimana dengan Jimin? Laki-laki itu baru saja bertemu dengan ibu kandungnya, tapi ibunya memutuskan untuk pergi lagi. Mereka belum sempat memperbaiki hubungan yang renggang dan ia harus merelakan separuh jiwanya sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...