Aku dan Ji Eun sedang berada di lobi rumah sakit tempat Eric dirawat saat Jimin menelepon. Aku memaki dalam hati, lalu mengangkat panggilan darinya. Jika aku sengaja tidak mengangkatnya, ia akan mengomel sepanjang hari. Untung lobi rumah sakit sedang agak sepi, sehingga aku bisa berteleponan dengan Jimin tanpa memancing kecurigaan.
Sejak kejadian pagi kemarin, Jimin masih kesal pada Eric. Begitu pun sebaliknya, Eric juga masih marah pada Jimin. Ken, Min Ho, dan Seol Chan sudah berusaha membujuk mereka. Tapi nihil, tak seorang pun dari keduanya yang mau mengalah dan meminta maaf. Ketika aku bilang bahwa aku akan pergi meminta maaf pada Eric, Jimin segera melotot padaku.
"Aku akan sangat marah padamu jika kau pergi ke sana, mengerti?"
Itu yang ia katakan sesaat setelah aku mengutarakan niatku. Aku hanya bisa menelan ludah gugup dan tidak berani membantah perintahnya. Aku sudah pernah bilang bukan, bahwa Jimin bisa berubah menjadi menyeramkan ketika ia sedang marah.
Tapi, aku merupakan orang yang tidak enakan. Aku juga tidak ingin persahabatan kekasihku rusak karena ulahku. Oleh karena itu, sekarang aku ada di sini untuk menjenguk Eric. Mengabaikan larangan Jimin dan menganggapnya sebagai angin lalu belaka. Meskipun jauh di dalam hati, aku tetap waswas terhadap ancamannya.
"Ah Oppa, ada apa?" tanyaku lirih.
"Jagi," balas Jimin manis. "Kau ada di mana? Kenapa rumahmu kosong?"
"Aku ada urusan sebentar dengan kelompok belajarku," dustaku.
Jeda sejenak sebelum Jimin berkata, "Memangnya kau sudah punya kelompok belajar?"
Sial, makiku dalam hati.
Aku lupa bahwa beberapa waktu yang lalu, aku mengeluh karena belum juga mendapatkan kelompok belajar yang cocok. Padahal sebentar lagi aku harus mengikuti magang dan kerja lapangan. Aku selalu bercerita pada Jimin tentang hari-hariku sehingga ia yang paling tahu apa saja kegiatanku. Tapi masa bodohlah, aku sudah terlanjur berbohong.
Aku berdeham. "Tentu saja. Aku harus mencicil tugas akhirku, 'kan?"
"Kau pulang pukul berapa?" tanyanya, malas menginterogasiku lebih jauh.
Saat aku akan menjawab, terdengar teriakan dokter dan perawat yang sedang tergesa-gesa membawa seorang pasien. Aku hampir saja membanting ponselku karena takut kalau Jimin bisa mendengar kebisingan tersebut.
"Pssttt ...." Aku membuat suara gaduh dengan mulutku. "Oppa? Oppa? Aku tidak bisa mendengar suaramu."
Tak lama, dokter dan para perawat itu telah berlalu dari hadapan kami. Aku menarik napas lega, lalu kembali memfokuskan diriku pada Jimin.
"Baby?" panggil Jimin. "Apa yang terjadi?"
"Apa yang tadi kau katakan?" tanyaku.
Jimin mengulangi pertanyaannya, "Kapan kau akan pulang?"
"Mungkin agak sore," balasku. "Ah sudah ya, aku harus menutup teleponku."
"Aku akan menjemput—"
"Tidak perlu!" potongku cepat. "Aku bisa pulang sendiri. Aku akan menghubungimu setelah sampai di rumah. Bye, Oppa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...