Aku meregangkan tubuhku yang terasa kaku. Kubuka mataku perlahan, kemudian melihat sekeliling. Hal pertama yang kusadari adalah ini bukan kamarku.
INI BUKAN KAMARKU!
Lalu, aku menoleh. Seorang laki-laki sedang tertidur lelap di sebelahku. Siapa lagi kalau bukan Park Jimin? Aku tidur sambil memeluk tubuhnya. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?
Apakah kami benar-benar ...?
Aku duduk tegak. Kubuka selimut yang menutupi tubuhku. Aku menghela napas lega saat melihat pakaianku masih utuh. Tetapi, peristiwa tadi malam perlahan-lahan bisa kuingat.
"Aish!" makiku tanpa sadar.
"Kau sudah bangun?" Terdengar suara Jimin yang serak.
Sepertinya, ia terbangun karena keributan yang kubuat. Kututup wajahku dengan satu tangan. Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapinya setelah peristiwa semalam.
Jimin sekarang sudah ikut duduk. Ia meregangkan tubuhnya, lalu memutar-mutar lehernya. Aku bisa mendengar bunyi gemeretak dari pergerakan sendi-sendinya. Jimin kemudian menyingkirkan tangan dari wajahku. Terpaksa aku harus bertatap muka dengannya.
"Kau sudah sadar? Sudah tidak mabuk lagi?" tanyanya.
"Haha." Aku tertawa sumbang. "Apa saja yang kulakukan semalam?"
Jimin mencondongkan tubuhnya padaku, membuatku mundur perlahan. Bangun tidur saja tampan benar, sangat berbeda denganku yang pasti acak-acakan. Tuhan, tolong hamba-Mu!
"Kau lupa? Mau kuingatkan?" ujarnya sambil menyeringai.
"Kalau kau maju lagi, aku akan memukulmu!" ancamku saat menyadari mata Jimin telah terpaku pada bibirku.
Lelaki itu tersenyum lebar. "Ayolah. Permainan kita belum selesai. Kalau tidak salah sampai kau ingin aku melakukan foreplay atau ...?"
Aku membekap mulutnya dengan telapak tanganku. "Cukup. Aku tidak ingin mendengarnya."
Mata Jimin mengerjap. Ia mencoba berbicara, tapi suaranya teredam oleh telapak tanganku. Aku lalu melepas bekapanku pada mulutnya.
"Katamu kau menyukaiku," ujarnya sambil tersenyum manis.
Aku pura-pura kaget. "Kapan aku bilang begitu?"
"Kau berkata bahwa kau sangat menyukaiku. Sampai-sampai kau terus bergumam kalau kau menyukaiku."
Aku berdeham. "Itu karena aku sedang mabuk."
"Kau menciumku duluan," katanya, menolak untuk berhenti menggodaku.
Aku bisa merasakan panas merambat dari leher ke pipiku. Aku ingat bahwa aku berciuman dengannya, tapi aku lupa siapa yang memulainya. Aku bahkan lupa berapa kali kami berciuman, aku yakin lebih dari sekali. Apakah memang aku yang memulai semua ciuman itu?
"Itu karena aku mabuk," ulangku tak yakin.
"Kau membiarkanku mencumbumu. Mau bilang karena kau mabuk? Jujurlah kalau kau juga menginginkannya," desaknya.
Aku menelan ludah. "Sudah kubilang, 'kan? Aku. Sedang. Mabuk."
Alis Jimin naik sebelah. "Oh, ya? Mau kubuktikan sekarang kalau perkataanmu itu salah?"
Setelah bilang begitu, ia mulai mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku refleks mencengkeram kedua bahunya, membuatnya berhenti. Beberapa saat kemudian, ia mulai mendorongku hingga aku telentang di atas ranjang.
"Jimin, kumohon sadarlah!" teriakku.
Pria yang menindihku itu tersenyum miring. "Aku hanya ingin membuatmu mengingat semuanya. Bagaimana kau memohon padaku, bagaimana kau menginginkan sentuhanku, semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...