38

16.2K 1.6K 155
                                    

Warning 21+!!!

"Jimin-ah ...."

Samar-samar, aku bisa mendengar Jimin memaki. Aku merasa tubuhku melayang di udara, tapi sebenarnya aku berada dalam gendongan Jimin. Kugelengkan kepalaku, mencoba untuk mengusir rasa mabuk.

Tak lama, aku merasa punggungku menyentuh kasur yang empuk. Jimin baru saja mengangkat tangannya dari balik punggungku, tapi aku segera meraih lehernya, membuatnya urung berdiri. Ia sekarang membungkuk di atas tubuhku. Kedua tangannya berada di samping kepalaku untuk menahan beban tubuhnya.

"Lepaskan," katanya sambil berusaha melepaskan diri dariku.

Aku menggeleng. "Tidak mau."

Lelaki itu mendesah. "Lepaskan sekarang juga sebelum kau menyesal."

Aku mengabaikan ancamannya. "Kenapa kau tampan sekali, hah?"

Jimin memutar bola matanya. "Kau pasti sangat mabuk hingga memujiku terus-menerus. Biasanya kau akan memakiku atau melotot padaku."

"Aku tidak mabuk!" raungku kesal.

"Kau menghabiskan wine itu sendirian. Sudah tahu tidak tahan mabuk," balasnya sambil mendelik padaku.

Aku balas mendelik padanya. "Kau berani melotot padaku? Kau harus dihukum!"

Kutarik lehernya sampai hidungnya menyentuh hidungku, lalu kukecup bibirnya yang kenyal. Jimin terlihat terkejut. Tetapi tak lama, ia berusaha keras melepaskan diri dariku. Sampai akhirnya, kepalaku terbentur ranjang.

"Sakit, bodoh!" makiku sambil mengelus bagian belakang kepala.

"AUGH!" balasnya seraya berpura-pura ingin memukulku.

Kupegang kedua pipinya. "Aku menginginkanmu sekarang juga."

Lelaki itu tidak lagi berusaha melepaskan diri dariku. Ia menatapku dalam sebelum menyentuh bibir bawahku dengan ibu jarinya. Tatapannya seperti terlihat agak sedih. Atau itu hanyalah perasaanku saja?

"Kau ... tidak menginginkan-"

Aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku karena Jimin telah menunduk dan mulai mengulum bibirku. Kedua tangannya mencengkeram rambutku untuk memperdalam ciuman kami. Sekarang, satu-satunya hal yang kuinginkan adalah bersama lelaki yang telah menyelamatkan hidupku berkali-kali ini.

Setelah ciuman kami berhenti, Jimin kembali mencoba melepaskan tanganku dari lehernya. Tapi kali ini, ia melakukannya dengan lebih lembut. Aku menatapnya terluka, sebelum akhirnya melepaskan tanganku yang melingkar di lehernya.

"Kau tidak menyukaiku, 'kan?" Suaraku bergetar menahan tangis.

Kebiasaan burukku saat mabuk adalah aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku. Lebih buruknya lagi, aku sering gampang menangis. Aku bahkan pernah menangis selama satu jam penuh di depan bangkai seekor anjing yang tertabrak mobil sehabis pulang dari orientasi kampus. Temanku harus menyeretku pulang setelah kami berhasil menguburnya. Sejak itu, aku berjanji untuk tidak lagi menyentuh sesuatu yang membuatku kehilangan kesadaran.

Jimin beranjak untuk berbaring di sebelahku. Kami saling menatap, sebelum tangannya bergerak untuk menyingkirkan helaian rambutku yang berantakan. Aku ingin mengalihkan pandanganku darinya, tapi tubuhku seperti menolak perintahku.

Akhirnya pria itu berkata, "Aku menyukaimu, sungguh. Kau tidak tahu betapa aku tergila-gila padamu."

"Oh, ya?" tanyaku sangsi.

Ia mengangguk. "Tapi sekarang kau sedang mabuk. Aku tidak ingin kau menyesal saat sadar nanti."

"Siapa yang mabuk? Aku tidak mabuk," rengekku. "Aku bahkan bisa melihat dengan jelas."

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang