"Demammu sudah turun," ujar Jimin lega setelah menyentuh keningku dengan telapak tangannya tak lama setelah aku bangun.
"Pukul berapa ini?" tanyaku dengan suara lemah.
Jimin menjangkau jam tangan yang ia letakkan di atas meja, lalu menjawab, "Pukul delapan malam."
"Delapan?!" seruku terkejut. "Aku harus pergi. Ji Hoon pasti pulang sebentar lagi."
Jimin segera menahan tubuhku saat aku akan bangkit dari tiduranku. Aku menatapnya bingung, tapi membiarkannya menidurkanku lagi karena aku terlalu lemas. Kedua tangannya sekarang sibuk membenarkan letak selimutku.
"Aku sudah menghubunginya," ujar lelaki tersebut. "Aku memberitahunya bahwa kau sedang sakit dan aku yang akan menjagamu. Lagipula di luar sedang hujan deras, aku tidak akan membiarkankanmu keluar dari sini."
Aku mengernyit. "Apa? Yaaa, dia bisa kesal."
Jimin menghela napas. "Tenang saja. Dia hanya mengucapkan terima kasih karena mungkin dia tidak bisa pulang ke rumahmu malam ini."
Aku mencoba mencari keseriusan di wajahnya, sampai akhirnya aku berkata, "Benarkah dia bilang begitu?"
Jimin menaikkan sebelah alisnya. "Kau tidak percaya padaku? Kau bisa menanyakannya sendiri kalau kau mau."
Aku mengangkat bahuku dan memilih untuk percaya pada ucapannya. Lagipula, telepon genggamku tidak berbunyi sama sekali. Biasanya, kalau Ji Hoon khawatir padaku, ia akan menerorku sampai aku mengangkat panggilan darinya.
"Kau pasti lapar," kata Jimin, membuatku kembali menaruh perhatian padanya. "Aku akan menghangatkan makananmu. Kau tidur seharian dan aku tidak tega membangunkanmu."
"Aku tidak lapar," tolakku halus.
"Omong kosong. Kau bahkan melewatkan makan siang. Tunggu di sini, aku akan menyiapkan makananmu," ujarnya seraya beranjak berdiri dan keluar dari kamar.
Aku berbaring menatap langit-langit kamar Jimin. Dulu, langit-langitnya hanya berwarna abu-abu polos, sama seperti dinding di sekelilingku. Tetapi, sekarang telah berganti sewarna langit dengan goresan gambar awan berwarna putih. Beberapa minggu yang lalu, aku mengusulkan pada Jimin untuk sedikit memberikan suasana baru pada kamarnya dan ia langsung setuju.
Tatapanku sekarang beralih pada foto-foto yang terpajang di atas meja, tepat di samping ranjang. Aku harus mencari-cari album foto di rumah lamanya saat kami mampir ke sana. Sayangnya, aku hanya menemukan beberapa foto Jimin saat masih sekolah. Kebanyakan adalah foto kelulusan sekolahnya bersama ayah dan teman-temannya. Aku juga mencetak foto kami berdua saat pergi ke Namsan Tower dan swafoto kami ketika berkencan. Semuanya berjajar rapi dan membuat kamar ini jauh lebih hidup.
Lamunanku terhenti karena suara dering telepon. Aku bangkit untuk menjangkau ponselku yang tergeletak di atas meja. Nama Ji Hoon terpampang di layar. Setelah menyandarkan punggungku pada sandaran ranjang, aku mengangkat panggilannya.
"Noona!" seru Ji Hoon. "Kudengar sakitmu semakin parah."
"Aku sudah baikan," kilahku. "Bahkan aku sampai tidur seharian."
Ji Hoon menghela napas lega. "Syukurlah. Bilang pada Jimin Hyeong bahwa aku akan menjemputmu besok pagi."
Aku mengangkat sebelah alisku. "Jimin Hyeong? Kemarin kau memanggilnya 'cowok pendek' dengan kurang ajarnya. Kenapa sekarang kau tiba-tiba memanggilnya dengan sopan begitu?"
"Ah tidak ada, itu karena dia telah menjagamu saat aku pergi."
Namun, aku tahu ada sesuatu yang lain di balik kata-katanya. Aku mengenal Ji Hoon dengan baik, bahkan aku memahami sifatnya lebih dari kedua orang tuaku. Kami telah tumbuh bersama, tertawa bersama, bahkan menangis bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomansaNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...