93

7.2K 1.1K 183
                                    

Ken telah pergi sejak sejam yang lalu. Sekarang sudah pukul satu pagi dan mataku masih terbuka lebar. Jari tanganku mulai kaku karena terus-menerus memencet tombol keyboard di ponselku.

Aku telah mengirim puluhan pesan yang kutujukan untuk Jimin. Aku juga telah mencoba menelepon nomornya sampai puluhan kali. Tapi percuma. Jangankan mengangkat panggilanku, bahkan lelaki itu tidak mau repot-repot membaca pesanku.

Kusandarkan punggungku pada kepala ranjang, sementara kedua tanganku mencengkeram rambut. Aku merasa pening karena terlalu lama menangis. Rasanya seperti ada tangan-tangan raksasa tak terlihat yang mencengkeram kepalaku. Setelah menelan sebutir aspirin, pening itu tetap tidak mau berkurang sedikit pun.

Tiba-tiba, aku merasa ketakutan hingga membuat tubuhku menggigil. Hubunganku dengan Jimin yang tampak baik-baik saja ternyata hanyalah kebahagiaan semu belaka. Kupikir, dia akan selalu berada di sisiku seperti yang ia lakukan selama ini. Kukira, kami bahkan bisa saling tersenyum satu sama lain sampai kami tua nanti.

Benakku berputar pada kejadian di kelab malam tadi. Sikap dingin yang ditunjukkan oleh Jimin dan kata-kata kejamnya masih bisa kuingat dengan jelas. Meskipun aku merasa marah dan sedih, tapi aku tidak benar-benar bisa membencinya. Walau bagaimana pun, aku mencintainya dari dalam lubuk hatiku. Namun, lelaki yang kupikir mencintaiku tersebut kini memutuskan untuk pergi.

Apakah ini artinya, aku tidak akan bisa menatap wajahnya lagi? Apakah ini artinya, aku tidak akan bisa mendengar suaranya lagi? Apakah ini artinya, aku tidak akan pernah melihat senyumannya lagi?

Mungkin kalau aku menemuinya sekali lagi saja, ia akan kembali kepadaku ....

Aku segera melompat dari atas ranjang dan menyambar tas yang tadi kupakai. Di dalam tas, sudah ada dompet dan ponsel. Dua barang yang selalu kubawa ketika aku ingin pergi dari rumah. Aku buru-buru memakai sepatu dan melesat keluar untuk mencari taksi.

Hampir setengah jam aku berdiri di pinggir jalan karena tidak ada taksi yang lewat pada pukul segini. Sampai akhirnya, sebuah taksi berhenti di depanku. Aku segera masuk ke dalamnya dan mengatakan tujuanku. Setelah menyetujuinya, sopir taksi memacu mobilnya. Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak melamun. Memikirkan setiap kata yang akan kukatakan pada Jimin.

"Nona?" Sopir taksi setengah baya itu memanggilku.

Aku mendongak. "Ya?"

"Nona, kita sudah sampai," balasnya seraya melirikku dari kaca spion.

"Ah, maafkan saya, Pak. Saya sedang melamun tadi," ujarku, lalu mengeluarkan uang dari dalam dompetku.

Sopir taksi yang terlihat kebapakan itu tersenyum. "Tidak masalah, Nona. Sebaiknya Anda segera masuk ke dalam dan menghangatkan diri Anda."

Aku mengangsurkan uang dan sedikit tip. "Terima kasih, Pak."

Setelah keluar dari taksi, aku berjalan pelan ke arah gedung apartemen yang ditinggali oleh Jimin. Seperti biasa, aku naik lift menuju ke arah lantai di mana apartemen Jimin berada. Aku masih memikirkan kalimat yang ingin kukatakan pada lelaki tersebut.

Ketika akhirnya sampai di lantai yang kutuju, aku menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Kumantapkan langkahku menuju apartemen nomor 1007. Tapi ketika aku telah berdiri di depan pintu, aku tidak memiliki keberanian untuk membunyikan bel.

Sepuluh menit kemudian, tanganku terulur untuk menekan bel. Tidak ada jawaban. Kutekan bel sekali lagi, tapi tetap tidak ada jawaban. Aku terus menekan bel sampai ketiga kalinya.

Sepertinya, Jimin belum pulang ke rumah. Apartemennya benar-benar sunyi. Mungkin lebih baik aku masuk ke dalam dan menunggunya di ruang tamu. Aku sudah akan mengetik kode keamanan ketika kesadaran menghantamku dengan keras.

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang