Kubuka mataku perlahan-lahan. Rasa pening masih enggan pergi dari kepalaku. Beberapa detik kemudian, aku baru menyadari ada sesuatu yang janggal. Ranjang di bawah tubuhku terasa berbeda dari ranjang kamarku yang biasanya. Ranjang ini jauh lebih empuk dan lebih besar.
Saat otakku sudah kembali bekerja dengan baik, dadaku terasa sesak karena panik. Aku segera tersadar kalau ini bukanlah kamarku. Mataku menatap seluruh ruangan yang lumayan luas, tetapi hanya diisi dengan ranjang, lemari, meja rias, dan sebuah televisi.
Pandanganku lalu terpaku ke sudut ruangan. Di sana, pintu kamar mandi terbuka lebar. Seorang laki-laki yang memakai kemeja putih pendek terlihat sedang membasuh wajahnya. Pasti dirinyalah yang membawaku kemari.
Aku berguling perlahan dari ranjang sambil menatap kamar mandi dengan waswas. Laki-laki itu masih sibuk menyisir rambutnya yang hitam legam dengan jari-jari tangan. Kutata napasku sejenak, sebelum turun dari ranjang dan berjalan tanpa suara ke arah pintu masuk.
Rasa dingin menusuk telapak kakiku karena aku tidak memakai sepatu. Aku sudah tidak lagi mempedulikan tas maupun alas kaki. Aku hanya ingin cepat-cepat keluar dari kamar ini. Kuputar kenop pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, tapi sialnya pintu itu terkunci.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki di belakang punggungku. Aku menoleh dan mendapati laki-laki tadi telah berdiri di dekatku. Air menetes dari bagian depan rambutnya yang basah, sedangkan tatapannya terasa dingin menusuk. Aku hampir saja pingsan saking takutnya.
"Mau ke mana?" tanyanya sambil tersenyum.
Wajahnya terlihat manis saat ia tersenyum. Aku tidak percaya laki-laki semanis ini bisa melakukan perbuatan yang menjijikkan. Aku mundur sampai punggungku menabrak daun pintu.
"Tolong lepaskan aku. Aku berjanji tidak akan melaporkanmu ke polisi," kataku memohon.
Laki-laki itu tertawa. "Aku yang telah menolongmu. Bagaimana bisa kau melaporkanku ke polisi?"
Jelas-jelas kau telah menculikku, batinku takut bercampur kesal.
Belum lagi pelecehan seksual yang dilakukannya saat menciumku secara paksa. Mengingatnya hanya membuatku ingin menangis saja. Tiba-tiba, laki-laki itu mendekat padaku. Aku terpojok di depan pintu tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia kemudian mengungkungku dengan tubuhnya.
"Apa kau tidak merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhmu?" tanyanya, matanya melihatku dari atas ke bawah.
Saking dekatnya, aku bisa mencium kembali bau parfum maskulin yang kuhirup berkali-kali di diskotik. Tangannya lalu bergerak ke arah pipiku. Aku segera memalingkan wajahku sehingga jemarinya hanya menyentuh udara. Hal itu membuatnya tersenyum lagi.
Aku harus segera keluar dari sini, batinku.
Kudorong tubuhnya, tapi ia masih bisa mempertahankan posisinya. Aku bahkan memukuli dadanya dengan kepalan tanganku yang kecil, tapi ia tampak tidak merasakan sakit sedikit pun. Senyumannya memudar dan kedua matanya menyipit marah.
"Diamlah atau aku akan memperlakukanmu dengan kasar!" teriaknya sambil mencengkeram kedua lenganku, membuatku merintih kesakitan.
Setelah bilang begitu, ia menarik lenganku dan menyeretku ke arah ranjang. Aku berusaha menancapkan kakiku ke lantai, tapi usahaku jelas saja sia-sia. Ia dengan mudah menarikku kembali ke arah ranjang.
"Lepaskan sebelum aku menjerit dan orang-orang akan datang kemari!" ancamku, masih berusaha keras menancapkan kakiku ke lantai.
Percuma, tenaganya jauh lebih besar dariku. Tak lama, aku sudah dibantingnya ke atas tempat tidur. Aku bergegas berguling untuk menjauh, tapi ia dengan cepat menahan tubuhku. Aku tidak bisa bergerak karena ia telah menindih punggungku dan menahan kedua lenganku. Perbuatannya membuatku menjerit putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...