"Jimin!" teriakku senang saat melihat Jimin muncul.
"Apa kau sesenang itu melihatku?" tanyanya sambil berjalan ke arah ranjangku.
"Kau membawanya, 'kan?" tanyaku balik.
Wajahnya yang tadinya cerah berubah menjadi murung. "Ternyata kau menunggu ini."
Jimin lalu mengeluarkan sebatang cokelat dari dalam sakunya. Aku segera merebut benda itu darinya. Kupandangi cokelat di tanganku dengan mata berbinar-binar.
"Apa?" tanyaku saat menyadari Jimin sedang menyembunyikan tawanya.
Lelaki itu menggeleng. "Cepat makan. Kalau tidak, nanti meleleh."
Aku mengangguk antusias. Tanpa membuang waktu, kubuka bungkus cokelat itu dengan hati-hati. Kemudian, aku menggigit ujungnya pelan. Entah karena rasa coklatnya memang luar biasa atau karena aku sudah lama tidak merasakannya, makanan manis itu terasa sangat enak. Rasa cokelat yang kental segera meleleh di lidahku. Aku tersenyum lebar saat merasakan kudapan manis itu mengalir turun di kerongkonganku.
Jimin menatapku. "Apa seenak itu?"
Aku mengangguk mantap dan menyodorkan cokelat itu padanya. "Kau mau coba?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Aku hanya membeli satu. Jangan sampai ada yang tahu kau makan makanan seperti ini, oke?"
Aku menautkan ibu jari dan telunjukku, tanda mengerti. Meskipun makanan di rumah sakit rasanya tidak terlalu buruk, tapi lama-lama aku bosan juga. Apalagi sejak masuk ke sini, aku tidak pernah lagi merasakan makanan dari luar. Aku benar-benar rindu memakan jajanan kaki lima maupun kudapan dari toko-toko camilan dan kue.
Jimin kadang-kadang memasakkan makanan untukku, tapi ia akan menggiling semuanya sampai lembut. Apa pun itu, ia akan menghaluskannya hingga menjadi bubur. Buah, sayuran, sampai daging. Padahal, aku sudah boleh memakan nasi.
Kugigit cokelat itu lagi, sementara Jimin duduk di kursinya. Matanya tidak lagi melihat ke arahku, melainkan menatap ponsel di tangannya. Ia sibuk mengetikkan sesuatu, lalu menutup ponselnya kembali. Sepertinya, ia baru saja berkirim pesan dengan seseorang.
"Aku akan ke kamar mandi sebentar," katanya seraya berdiri dari kursinya.
"Oke," jawabku pendek, masih sibuk mengunyah camilanku.
Jimin beranjak berdiri dan keluar dari kamarku. Aku menatap punggungnya sampai ia menghilang dari pandangan. Tak lama, terdengar nada dering telepon. Aku menjangkau ponselku, tapi ternyata panggilan telepon itu bukan ditujukan padaku. Saat memeriksa sekeliling, aku melihat telepon genggam milik Jimin yang tergeletak di ujung ranjang. Layarnya menyala, menandakan ada panggilan yang masuk.
Ah ya, kami punya ponsel yang sama. Sejak milikku rusak, Jimin membelikanku ponsel baru yang sama persis seperti miliknya. Bahkan nada dering ponselku pun diatur sama seperti punyanya. Jadi, tidak heran apabila terkadang telepon genggam kami tertukar.
Tanganku bergerak untuk menjangkau benda itu, tapi aku segera mengurungkan niatku. Mataku terpaku pada nama yang tertera pada layar, Ha Min Ji. Itu jelas nama seorang gadis. Jimin tidak pernah mengenalkanku pada teman wanitanya atau sekadar menceritakan tentang mereka.
Rasa penasaran semakin besar, tapi aku tidak mau lancang memegang barang-barang milik Jimin. Apalagi sampai mengangkat telepon yang ditujukan padanya, sedangkan ia sedang tidak ada di sini. Prinsip berpegang teguh pada nilai-nilai kesopanan akhirnya mengalahkan rasa penasaran di dalam hatiku.
Beberapa saat kemudian, panggilan itu berhenti. Tepat saat layar ponsel mati, Jimin kembali masuk ke dalam kamar rawat. Aku menatapnya dengan cokelat yang hanya tinggal separuh di tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
Roman d'amourNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...