46

16.1K 1.5K 147
                                    

Aku membuka tasku saat mendengar sebuah notifikasi lirih dari Kakaotalk. Setelah berhasil menemukan telepon genggamku, aku mengalihkan perhatian dari layar laptopku ke arah layar ponsel. Kubuka pesan Kakaotalk yang baru saja masuk.

[Park Jimin send image]

Setelah melihat foto yang ia kirim, aku buru-buru menatap sekeliling

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah melihat foto yang ia kirim, aku buru-buru menatap sekeliling. Aku belum pernah berkencan dengan seseorang, sehingga terlalu memalukan saat ada orang lain yang memergoki pesanku. Setelah melihat tidak ada siapa pun di sekitarku, aku segera membalasnya.

[Apa kau tidak ada kerjaan? Dasar memalukan.]

[LOL. Mengapa malu?]

[Ada apa? Apa kau benar-benar tak ada kerjaan sampai mengirimiku foto konyolmu?]

[Yaaa! 😤😤 Ujianku baru saja selesai. Ya Tuhan, aku tidak sabar bertemu denganmu.]

[Benarkah? Kau tidak bohong, 'kan? Kalau kau membohongiku tentang ujianmu, aku tidak akan memaafkanmu.]

[Kau bisa mengecek jadwalku. Malam ini, aku akan ke tempatmu. Aku membutuhkanmu. 😭😭]

[Mau apa ke tempatku?]

[Menurutmu? Kau sudah berjanji padaku. 😏😏]

Aku menghela napas panjang. Sudah seminggu sejak terakhir kali kami bertemu. Seminggu yang lalu, Jimin bilang bahwa ia harus mengikuti ujian. Dua minggu sebelum ini, dirinya sudah merasa frustrasi karena tidak bisa bertemu denganku. Aku harus menyiapkan ujian semesterku sendiri yang dimulai lebih awal.

Walaupun sifatnya menyebalkan begitu, ia cukup pintar. Apalagi ia terdaftar sebagai salah satu mahasiswa hukum universitas swasta terbaik di Seoul. Tapi sejak mulai berkencan denganku, ia menjadikanku sebagai fokus utama.

Saat ia mengeluh bahwa dirinya harus melaksanakan ujian semester, aku segera menolak bertemu dengannya. Meskipun sebenarnya aku sangat rindu padanya. Aku bahkan mengabaikan pesannya, kadang hanya membalasnya singkat. Ketika ia menelepon, aku hanya mengangkatnya selama beberapa menit.

Ketika akhirnya Jimin datang padaku di hari kedua ujiannya, aku membuka pintu sebentar dan menyuruhnya pulang untuk belajar. Ia segera menahan pintuku dan menyeretku masuk ke dalam rumah. Napasnya memburu, sebelum mendorong punggungku ke tembok dan mengecup ringan bibir dan rahangku.

Kalau saja aku tidak ingat bahwa ia harus fokus pada ujiannya, mungkin kami sudah berakhir di atas ranjang. Aku segera mendorongnya dan mengancamnya. Saat mendengar ancamanku bahwa ia tidak boleh menyentuhku sama sekali selama sebulan penuh, mimik wajahnya tampak ngeri.

Akhirnya, ia menuruti kata-kataku untuk fokus belajar. Aku berjanji bahwa aku akan memberinya hadiah kalau hasil ujiannya bagus. Ia bahkan sampai mematikan telepon genggamnya agar bisa lebih berkonsentrasi. Katanya, jika ponselnya berada di dekatnya, ia pasti tergoda untuk mengirimiku pesan atau meneleponku terus-menerus. Mengingatnya membuatku tersenyum.

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang