Warning 21+!!!
Aku membungkuk pada ibu Jimin sebelum menutup kaca jendela mobil. Jimin melajukan mobilnya pelan, tapi matanya terpaku kepada spion, ke arah ibunya yang berdiri mematung di pinggir jalan. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil berhenti di depan ibunya. Seorang anak kecil berlari keluar dari dalam mobil dan memeluknya, kemudian sesosok laki-laki berjas hitam bergabung bersama mereka.
Meskipun jarak kami jauh, aku segera mengingat bocah lelaki itu. Aku ingat di mana aku pernah bertemu dengan ibu Jimin. Anak lelakinya pernah menabrakku ketika sedang berlarian di rumah sakit milik keluarga Ken. Aku baru saja akan mengatakan pikiranku pada kekasihku saat aku menatap ke jalanan dengan raut wajah ketakutan.
"Jimin!" teriakku, membuat Jimin segera tersadar.
Mobil yang kami tumpangi hampir saja naik ke atas trotoar.
Jimin menoleh padaku dengan wajah pucat. "Kau tak apa?"
"Seharusnya aku yang bilang begitu. Kau tampak kacau," desahku.
Jimin menyisir rambutnya ke belakang dengan salah satu tangannya. Ia menarik napas panjang dan kembali fokus pada jalanan di depan kami. Namun, aku tahu bahwa pikirannya sedang tidak ada di sini.
"Kau mau berhenti dulu?" tanyaku.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya.
Aku kembali melirik ke arah spion, tapi ibu Jimin telah pergi. Akibat rasa terkejutku, aku lupa pada pikiranku tentang pertemuanku dengan ibunya. Jimin kembali melajukan mobil dengan kecepatan normal. Aku tidak mau mengusiknya sama sekali, jadi perjalanan kami terasa sangat sunyi. Sampai aku menangkap sesuatu yang tidak biasa.
"Hei, kita mau ke mana?" tanyaku saat mobil yang kami tumpangi berjalan lurus, bukannya membelok ke gedung apartemen milik Jimin.
"Ayo kita minum sebentar," katanya tanpa menoleh padaku.
Aku hanya menatapnya, memutuskan untuk tidak memprotesnya sedikit pun. Ia tampak tidak karuan. Mungkin minum sedikit alkohol akan membuat hatinya lebih lega. Kami bisa memesan taksi atau sopir panggilan jika ia terlalu mabuk untuk menyetir.
Ketika kami sampai, Jimin segera keluar dari mobil. Ia meninggalkanku begitu saja. Saat aku berlari mengejarnya dan menarik lengannya, ia menoleh dengan ekspresi terkejut.
"Oh, maafkan aku," katanya saat menyadari kehadiranku di sisinya.
Ini jelas lebih buruk dari yang kukira.
"Sebaiknya kita pulang saja, ya?" bujukku.
Jimin menatapku, lalu menggeleng. "Kau bisa pulang duluan kalau mau. Aku ingin di sini."
"Hei, kalian mau masuk atau tidak?" tanya seorang laki-laki di belakangku.
Aku menoleh. "Ah, maafkan kami."
"Jangan hanya berdiri di tengah jalan," katanya, membuatku segera melepaskan tanganku dari lengan Jimin.
Orang itu berjalan di antara kami, sementara Jimin mengikuti di belakangnya. Mau tidak mau, aku ikut masuk ke dalam diskotik. Aku tidak bisa membiarkan lelaki ini minum-minum sendirian.
Ingar bingar musik segera menembus gendang telingaku. Mataku menyipit karena lampu diskotik yang berkerlap-kerlip di atas ruangan yang gelap. Saat menemukan sosok Jimin, aku segera berjalan cepat ke arahnya. Ia sudah duduk di depan meja bartender. Aku segera ikut duduk di sebelahnya.
"Berikan aku whiskey," pintanya.
Si bartender mengangguk, lalu melangkah ke arah rak-rak berisi minuman beralkohol. Ia mengambil sebotol whiskey dan sebuah gelas berukuran sedang. Setelah itu, ia kembali menghampiri kami dan memberikan pesanan Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...