"Aku akan membantumu," tawar Ji Eun.
Aku sedang kesusahan memapah tubuh Jimin. Ia sudah mabuk berat dan tampak tidak berdaya. Dirinya telah menghabiskan banyak gelas soju karena mengalah, juga beberapa kali menggantikan hukumanku. Aku langsung mengangguk setelah mendengar tawaran Ji Eun.
"Jimin biasanya memarkir mobilnya di depan, kalian cari saja di dekat pintu masuk," saran Min Ho.
Aku hanya mengangguk. Beberapa jam yang lalu, kami bertujuh bermain Truth or Dare. Sepertinya, keempat lelaki itu sengaja mempermainkanku dan Jimin. Kami masing-masing mendapat giliran lima kali, sedangkan mereka hanya mendapat giliran dua atau tiga kali. Gara-gara permainan itulah, Jimin menjadi tidak sadarkan diri.
Seol Chan dan Eric telah pulang beberapa waktu yang lalu. Mereka hanya bisa singgah sebentar karena masih ada urusan yang harus mereka selesaikan. Ken masih duduk di ruang tamu apartemen Min Ho, katanya mereka harus mengerjakan sesuatu.
"Kalau aku tidak sibuk, aku yang akan membawanya pulang," kata Ken.
"Tidak apa-apa," balasku. "Kami bisa membawanya sampai ke bawah."
Min Ho dan Ken melambaikan tangan mereka dari pintu apartemen yang masih terbuka. Setelahnya, aku dan Ji Eun berusaha memapah tubuh Jimin dengan susah payah. Bau soju menguar dari tubuhnya, membuat bau harum parfumnya agak memudar.
Aku dan sahabatku berhasil memapah tubuh Jimin sampai di depan gedung apartemen. Tak lama, taksi yang dipesan Ji Eun telah datang. Aku menyuruhnya pulang duluan walaupun ia sempat menolak. Tapi setelah kupaksa, akhirnya ia masuk juga ke dalam taksi.
Ji Eun melongokkan kepalanya keluar jendela. "Ga Eun-ah ...."
Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi segera diurungkannya niatnya tersebut. Lalu katanya, "Kau tahu apartemennya Jimin, 'kan?"
Aku mengangguk. Tentu saja aku berbohong.
"Pulanglah. Sudah malam," kataku padanya.
Ji Eun balas mengangguk. "Kalau sudah sampai di rumah, telepon aku."
"Baiklah," balasku sambil melambaikan tangan dengan susah payah karena harus menahan tubuh Jimin agar tidak terjatuh.
Ji Eun menutup kaca jendela, lalu taksinya melaju keluar dari halaman. Sekarang, hanya tinggal aku dan Jimin saja. Tubuh Jimin benar-benar berat, hingga membuatku kesusahan memapahnya. Aku mengutuk sopir panggilan yang tadi kutelepon karena tidak segera datang kemari.
Sepuluh menit kemudian, seorang laki-laki tergopoh-gopoh menghampiriku. Ia mengenakan kaos hitam dan celana panjang yang juga berwarna hitam. Laki-laki itu tampak masih muda, mungkin seumuran denganku.
"Nona Ga Eun?" tanyanya sopan.
"Ya," kataku sambil menyerahkan kunci mobil Jimin kepadanya.
Pemuda itu mengambil benda yang kusodorkan, lalu berjalan menuju mobil hitam yang biasa dipakai oleh Jimin. Aku mengikuti di belakangnya sambil memapah Jimin yang entah tidur ataukah pingsan. Beberapa kali, kami hampir jatuh terjerembab karena jalannya yang sempoyongan.
Setelah sampai di dalam mobil, aku menepuk-nepuk pipi Jimin. Tetapi, laki-laki itu tampak larut dalam tidurnya. Setelah mendesah, aku akhirnya memutuskan untuk membawanya pulang ke rumah.
Untung saja sopir panggilan itu mau menolongku memapah Jimin sampai ke depan rumah. Saat ia menawarkan untuk membantu membawa Jimin sampai ke dalam, aku menolak. Kamarku benar-benar berantakan dan belum sempat kubersihkan. Akhirnya, pemuda itu undur diri setelah menerima uang pembayaran jasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomansNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...