Warning 21+!!!
"Jimin-ah ...."
Jimin hanya bergumam pendek dan tatapannya tetap fokus pada layar komputer di depannya. Sudah sekitar satu jam ia mengacuhkanku dan malah asyik bermain game. Ia duduk di pinggir ranjang, sedangkan aku berbaring tengkurap di dekatnya. Mataku menatap raut wajahnya yang terlihat sangat serius.
Aku lalu menyandarkan daguku ke atas pangkuannya, tapi ia tidak bergerak sedikit pun. Tangannya tetap sibuk menekan tombol kontrol game-nya, padahal biasanya ia akan mengacak rambutku jika aku menyandarkan kepalaku padanya.
"Ada apa denganmu?" tanyaku bingung. "Kau marah padaku?"
"Tidak ada. Aku tidak marah pada siapa pun," jawabnya, matanya masih fokus pada karakter game di layar.
"Kau mendiamkanku dan malah asyik bermain game," keluhku.
"Oh, ya?" balasnya santai.
"Kalau begitu, aku akan pulang," kataku jengkel seraya bangkit dari tidur-tiduranku.
Aku melirik pada Jimin, tapi ia masih mengabaikanku. Setelah menatapnya dengan tatapan sebal, aku merangkak mendekati meja untuk mengambil barang-barangku. Laki-laki itu masih berkonsentrasi pada layar komputernya dan entah mengapa hal itu membuatku semakin merasa kesal.
"Aku benar-benar pergi," ancamku.
"Pergilah," balasnya datar.
Aku hampir saja melemparkan bantal ke arahnya, tapi kupikir itu hanya sia-sia belaka. Setelah menarik napas panjang, aku mulai memakai sepatuku. Bahkan saat aku keluar dari kamarnya, Jimin tidak menoleh sedikit pun padaku.
"Ada apa dengannya?" dumelku dongkol.
Aku baru saja membuka pintu apartemen saat sebuah tangan menarikku. Aku berputar dengan raut terkejut dan mendapati Jimin sudah berdiri di hadapanku. Tangan kanannya berada di pergelanganku, sementara tangannya yang lain menarik pinggangku.
"A-ada apa?" tanyaku terbata.
"Kau tidak melupakan sesuatu?" tanyanya balik.
Aku berpikir sebentar. "Hadiah ulang tahunmu? Aku belum menyiapkannya hehe."
Jimin cemberut. "Bukan itu. Sudah kubilang aku tidak mau hadiah ulang tahun."
"Lalu apa?"
"Kau meninggalkanku dan melupakan sesuatu yang penting. Apakah kau tidak merasa bahwa kau itu jahat sekali?"
"Melupakan sesuatu seperti apa?"
Jimin mendesah. "Kita tidak pernah berpisah tanpa melakukan satu hal. Ci-u-man."
Gantian aku yang cemberut. "Kau mengabaikanku. Aku sudah minta maaf karena ikut mengerjaimu, tapi kau malah mendiamkanku selama berjam-jam."
Jimin menaikkan sebelah alisnya. "Syukurlah kau menyadari kesalahanmu."
"Kau benar-benar menyebalkan, Park Jimin. Sekarang, lepaskan aku dan biarkan aku pergi," balasku seraya berusaha melepaskan diri darinya. "Satu lagi, tidak ada ciuman."
"Kalau aku tidak mau, kau mau apa?"
"Kalau begitu, jangan abaikan aku!" teriakku frustrasi.
Jimin tersenyum. "Kau selalu terlihat menggemaskan kalau merajuk seperti ini."
"Dan kau sangat menyebalkan," balasku dongkol.
Ekspresi laki-laki itu berubah menjadi serius. "Jangan pasang wajah seperti ini di hadapan laki-laki lain. Cukup hari ini kau bersikap nakal atau aku akan menghukummu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...