Kami baru saja kembali ke Seoul beberapa hari yang lalu. Sekarang, aku sedang berdiri di depan gedung rumah sakit milik Ken. Kemarin, ia mengatakan bahwa dirinya menunda charity bulanannya karena kekurangan tenaga, sehingga ia menunggu kami semua memiliki waktu luang. Biaya bukanlah masalah karena semua anggota geng Cho Min Ho menyumbang dengan dana jutaan won untuk berbagai kegiatan di rumah sakit milik keluarga Ken. Belum lagi donasi dari ayah-ayah mereka yang memang bersahabat dekat seperti halnya para putra mereka.
Aku tidak sendiri. Ada Jimin dan seluruh teman-temannya. Bahkan Ji Eun juga meluangkan waktunya untuk datang membantu. Kudengar, ini pertama kalinya para anak konglomerat di sampingku turun langsung dalam sebuah kegiatan amal. Biasanya, mereka hanya memberikan donasi berupa uang.
"Aku sudah menyiapkan segalanya. Kalian tinggal menemani pasien anak-anak bermain dan bersenang-senang. Kalian juga harus menenangkan mereka jika mereka menangis. Kalian mengerti?" ujar Ken sambil memandang kami satu per satu.
Aku dan Ji Eun menganggukkan kepala dengan antusias. Jimin dan Seol Chan mengangguk singkat. Sementara itu, Eric dan Min Ho mengangguk malas. Di antara mereka berlima, entah mengapa aku merasa Min Ho dan Eric memiliki sifat yang hampir sama. Mereka tampak dingin dan tidak berperasaan. Sejak awal, aku berusaha menghindari mereka berdua karena takut menimbulkan masalah hingga membuat keduanya marah.
"Ga Eun," panggil Jimin saat kami dibubarkan oleh Ken.
Aku menoleh padanya. "Ada apa?"
"Aku tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang harus kulakukan nanti?" tanyanya polos.
Aku tertawa. "Sepertinya ini benar-benar pertama kalinya kau jadi relawan, ya 'kan?"
Jimin mengangguk. "Aku takut membuat mereka menangis."
Aku berbalik untuk menyeret lengannya. "Pertama, kau harus memasang wajah ceria. Jangan cemberut, apalagi memasang wajah marah. Mereka tidak akan mau mendekat padamu jika kau terlihat menyeramkan."
Jimin mengedip gugup. "Lalu?"
Aku mendesah. "Coba, sekarang tersenyum padaku."
Lelaki itu menarik sudut-sudut bibirnya, membentuk senyuman terpaksa yang menyedihkan. Padahal, biasanya ia bisa tersenyum dengan manis. Tapi tampaknya ia benar-benar gugup sekarang, hingga lupa bagaimana caranya tersenyum.
Aku hampir meledakkan tawaku kalau saja tidak ingat bahwa kami telah sampai di aula rumah sakit yang luas. Pasien anak-anak sudah berkumpul dan duduk di kursi masing-masing sambil menatap kami dengan rasa penasaran. Beberapa relawan juga datang untuk membantu. Mereka berlima dan kelihatan masih muda. Kupikir mereka masih usia sekolah.
"Ga Eun, rahangku kaku karena terlalu lama tersenyum," keluh Jimin.
Seketika, aku teringat pada kekasihku yang berdiri di sampingku dan masih berusaha melatih senyumannya.
"Lebih natural lagi," perintahku. "Seperti ini."
Aku menghadapkan wajahku pada Jimin dan memasang senyum terbaikku. Tak lama, Jimin ikut tersenyum tipis. Tatapannya terpaku padaku dengan bola mata berbinar-binar. Aku yakin ia pasti akan menarikku ke dalam pelukannya atau melumat bibirku kalau saja hanya ada kami berdua di sini.
"Nah, lebih lebar lagi," saranku.
"Kau selalu terlihat sangat cantik saat tersenyum," pujinya, mengabaikan perkataanku tadi.
Aku baru saja akan membalas ucapannya, tapi telepon genggamku berbunyi. Aku mengelus lengan Jimin dan mengisyaratkan bahwa aku akan mengangkat telepon. Ia hanya mengangguk dan menatapku sampai aku keluar dari aula.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...