Aku membuka mataku perlahan-lahan. Hal pertama yang kulihat adalah wajah Jimin. Kedua matanya menatapku tanpa berkedip. Bayanganku memantul pada bola matanya yang berwarna hitam.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.
"Sepertinya aku masih bermimpi," gumamku sebelum menutup mataku lagi.
Aku bisa mendengar sebuah tawa lirih, membuat kesadaranku mulai kembali. Mataku terbuka lebar dan mendapati Jimin masih tertawa. Tangannya lalu terangkat untuk mencubit pipiku, membuatku mengaduh.
"Apa kau pikir ini hanya mimpi?" tanyanya.
Ah, sosok di depanku ternyata bukan khayalanku semata. Entah mengapa, aku merasa senang ia ada di dekatku saat aku membuka mataku di pagi hari. Mungkin aku mulai terbiasa dengan keberadaannya dalam hidupku dan malah terasa aneh saat ia tidak ada di sekitarku.
"Jimin, apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku balik.
Jimin mengernyit. "Pertanyaan macam apa itu?"
Memoriku berputar. Saat mengingat apa yang terjadi tadi malam, aku menjilat bibirku gugup. Aku telah mengambil salah satu keputusan besar dalam hidupku.
"Benarkah semalam kita ...?" Pertanyaanku berhenti di tengah-tengah.
Jimin tersenyum dan mengangguk. Aku merasakan panas naik dari leher ke pipiku. Aku telah melakukannya, bersama lelaki yang tersenyum manis di hadapanku.
Senyumannya langsung luntur saat membaca ekspresi di wajahku. "Apa kau menyesal?"
Aku akhirnya tersenyum. "Buat apa menyesal? Toh kita sama-sama menginginkannya."
Jimin tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Ia meraih wajahku dan mengecup dahiku. Entah karena kesadaranku yang telah benar-benar pulih atau karena gerakan yang tiba-tiba, rasa nyeri di antara kedua pahaku kembali. Aku mengerutkan dahi menahan sakit. Namun, erangan lirih berhasil keluar dari sela-sela bibirku.
Jimin mengangkat tangannya untuk mengelus rambutku. "Apa masih sakit? Biar kuambilkan obat pereda rasa sakit."
Aku menggeleng, tidak ingin membuatnya cemas. Lelaki itu mencoba meneliti wajahku, lalu menghela napas lega saat diriku mulai rileks. Ia menarikku dalam dekapannya lagi, tapi kali ini dengan sangat hati-hati. Ia lalu mengelus punggungku lembut.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu," ujarnya.
"Aku tahu. Ini normal, jadi jangan khawatir. Banyak orang yang merasakan apa yang kurasakan sekarang," balasku.
"Katakan saja padaku apa yang kau inginkan, aku akan melakukannya untukmu," ujarnya tulus.
"Jimin," kataku akhirnya.
"Hmm? Ada apa?" tanyanya seraya melepaskan pelukannya untuk menatap wajahku. "Apa terasa sakit lagi?"
"Tidak," balasku cepat. "Umm ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...