83

9.1K 1K 140
                                    

"Jiminie," lenguhku.

"Aish, sudah kubilang untuk tidak memanggilku begitu," protes Jimin.

Kami sedang duduk di pinggir ranjang. Tepatnya, ia yang duduk di ranjang dan aku berada di atas pangkuannya. Kedua tanganku melingkar di lehernya, sedangkan kedua tangannya memeluk pinggangku. Ia sudah melepas jaket hitamnya, menyisakan kemeja polos berwarna putih.

Lelaki ini selalu keren dengan pakaian apa pun yang ia kenakan. Dia bak manekin berjalan yang selalu cocok memakai setelan apa saja. Sayangnya, ketampanannya kali ini tidak bisa membuatku terjatuh pada pesonanya dengan mudah. Aku masih belum bisa melupakan kekesalanku kepadanya.

"Kau memang brengsek," semburku.

Jimin menyeringai. "Kenapa aku brengsek?"

Aku melepaskan tanganku dari lehernya untuk menutupi wajahku. "Aku menciummu di depan semua orang!"

"Kita sering berciuman di depan umum," tawanya. "Apa kau lupa?"

Aku menurunkan tanganku dan melingkarkannya lagi di leher lelaki di hadapanku. "Kau yang selalu menciumku duluan, bukan aku yang menciummu lebih dulu."

"Apakah itu berbeda?"

"Tentu saja berbedaaa," rengekku.

"Kau kalah taruhan, kesepakatannya adalah yang kalah menuruti semua perintah yang menang," jelasnya.

Aku cemberut. "Kalau aku menang dan aku menyuruhmu melompat dari lantai sepuluh, apa kau akan menurutiku?"

Jimin mengangguk. "Itu kesepakatannya, bukan?"

"Dasar bodoh," desahku seraya menjatuhkan tubuhku padanya.

Lelaki itu balas memeluk punggungku. "Tidurlah. Kau terlalu banyak minum."

"Jiminie ...."

"Hmm?"

"Ayo berhubungan seks."

Jimin tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Tidak ada seks. Tidurlah sekarang juga. Kau membutuhkan tidur, bukan seks."

Aku kembali duduk tegak dan menatapnya dengan raut wajah merajuk. "Kau tidak mencintaiku?"

"Aku mencintaimu, itulah kenapa aku menyuruhmu untuk tidur," balasnya seraya tersenyum sabar.

Aku mencebik dan tanpa bisa kucegah, air mataku telah menggenang. "Kau tidak mencintaiku lagi. Makanya kau tidak mau melakukannya denganku, bukan?"

Jimin mendesah. "Kau ini benar-benar-"

"Jawab pertanyaanku sekarang juga," desakku.

"Astaga, biar kutanya satu hal dan kau harus menjawabnya dengan jujur."

"Apa itu?"

"Apa kau mencintaiku atau kau hanya menginginkan tubuhku, hmm?"

"Kau meniru kalimatku!" seruku tak terima.

"Hmm? Kau belum menjawab pertanyaanku, jagiya ...."

"Aku mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu. Cintaku besar sekali, sebesar ini," ujarku seraya merentangkan kedua tanganku lebar-lebar.

"Cintaku lebih besar darimu," sahutnya seraya ikut merentangkan kedua tangannya yang jelas-jelas lebih panjang dari tanganku.

Wajahku sedikit berbinar. "Jadi, karena cintamu lebih besar, bisakah kita berhubungan seks sekarang?"

Jimin memutar bola matanya. "Jangankan berhubungan seks denganmu, bahkan sekarang saja aku enggan menciummu. Sekujur tubuhmu berbau soju, tidak bisakah kau menciumnya?"

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang