33

14.2K 1.5K 61
                                    

Aku dan Jimin duduk berhadapan di sebuah meja makan. Ada vas bunga berisi bunga mawar dan dua buah gelas yang masih kosong. Sebotol sampanye berdiri menjulang di antara gelas kami berdua.

Mataku menatap ke sekeliling, tapi semua meja terlihat kosong. Hanya meja kami yang ada penghuninya. Jimin tampak duduk santai di kursinya, sementara aku duduk tidak nyaman di kursiku. Buku menu terbuka di depanku, menampakkan berbagai nama makanan yang asing bagiku. Setahuku, ini restoran Prancis dan semua tulisan dalam menunya menggunakan Bahasa Prancis.

"Kau mau makan apa?" tanya Jimin, mengalihkan tatapannya dari buku menunya ke arahku.

Aku mendongak. "Umm ...."

Jimin mengangkat sebelah alisnya, menunggu jawabanku. Aku balas menatap padanya dengan perasaan sedikit malu. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk berbicara jujur. "Aku tidak tahu makanan apa saja yang ada di sini. Semuanya tampak asing bagiku," bisikku.

Lelaki di hadapanku tertawa. "Kau ingin kupesankan?"

Aku mengangguk. Jimin kembali menyusuri buku menunya, lalu memanggil pelayan. Pelayan itu mencatat semua pesanan kami sebelum menghilang kembali ke bagian belakang restoran.

"Jimin-ah," panggilku.

"Hmm? Ada apa?" Jimin menatapku dengan pandangan bertanya.

Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekelilingku. "Kenapa hanya ada kita berdua?"

"Aku tidak ingin kita terganggu, jadi kupesan tempat ini selama dua jam ke depan," balasnya enteng.

Mataku membelalak. "Yaaa! Apa kau serius?"

"Memangnya kenapa?"

"Astaga! Bisakah kau berhenti membuang-buang uang?" desahku.

Jimin mengangkat bahunya. "Sudah seminggu ini kita tidak menghabiskan waktu berdua."

"Kau selalu datang saat aku sudah tertidur," kilahku.

Jimin menganggukkan kepalanya. "Ya, melihatmu tertidur memang menyenangkan. Tapi melihatmu menatapku dengan kedua matamu yang besar itu jauh lebih membahagiakan bagiku."

Aku berusaha keras agar tidak terlihat salah tingkah. Apalagi Jimin masih menatapku dengan matanya yang menurutku mempesona. Tak lama, makanan pembuka kami datang. Lelaki tersebut segera sibuk mengamati makanan yang disajikan di atas meja. Akhirnya, aku bisa menarik napas lega.

"Makanlah," katanya setelah aku hanya diam menatap makanan di depanku.

"Berjanjilah untuk tidak melakukannya lagi," balasku.

"Kenapa kau selalu mempermasalahkan hal sepele seperti ini?"

"Sepele?" Aku menaikkan sebelah alisku. "Kurasa aku ingat bahwa aku mensyaratkan untuk tidak sembarangan membelikan sesuatu untukku."

"Kebanyakan gadis menyukai hal-hal seperti ini, kenapa kau tidak menyukainya?"

"Kau tidak bisa terus-menerus berbuat semaumu padahal kita tidak memiliki hubungan apa pun."

Jimin menatapku tajam. "Kau ingin memiliki hubungan denganku, begitu?"

Aku berdiri, lalu menatapnya dengan tatapan aku-sedang-tidak-ingin-bercanda. Kuambil tas tanganku, lalu melangkah meninggalkan meja kami. Saat melewati Jimin, ia segera menahan pergelangan tanganku.

Lelaki itu kemudian ikut berdiri. "Duduklah. Aku tidak ingin kita bertengkar di hari ulang tahunmu."

Aku menoleh ke arahnya, lalu mengedip bingung. Astaga, bisa-bisanya aku lupa pada hari ulang tahunku sendiri! Melihatku yang hanya berdiri kebingungan, Jimin lekas membimbingku agar duduk lagi di kursi.

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang