"Kenapa kulkasmu kecil sekali sih?" keluh Jimin.
"Hehe," aku hanya bisa tertawa. Tanganku sibuk menata bahan makanan di dalam kulkas.
Kau 'kan tahu aku ini miskin, batinku.
Punya barang-barang seperti kulkas, kipas angin, dan televisi di rumah sewaanku yang kecil ini sudah terasa mewah bagiku. Mana bisa disandingkan dengan standar seorang Park Jimin. Ia merupakan seorang chaebol¹ yang selalu disuapi dengan sendok emas. Sedangkan aku? Aku hanyalah rakyat jelata yang selalu disuapi dengan sendok plastik yang mudah patah.
Jimin menyerah membantu menjejalkan barang belanjaan ke dalam kulkasku yang kecil. Tadi sebelum pulang, ia menyeretku ke supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan. Selama berkencan dengannya, aku tidak boleh terlihat kurus dan menyedihkan. Dia memang hobi bersikap kurang ajar.
"Mau kubelikan yang lebih besar?" tanyanya sambil menoleh padaku.
Ebuset. Sebenarnya, aku ingin mengiyakan tawarannya. Rezeki tidak boleh ditolak, bukan? Tapi sayangnya dia bukan pacarku yang sesungguhnya. Aku tidak bisa mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak benar-benar mencintaiku.
Aku menggeleng, lalu balasku, "Makanan itu pasti cukup untuk sebulan. Besok setelah aku ada uang, aku akan segera menggantinya."
Jimin tertawa. "Aku membeli ini semua bukan untukmu, tapi demi kepentinganku sendiri. Aku tidak mau kau terlihat menyedihkan saat masih bersamaku. Setelah kita putus, terserah kau mau melakukan apa karena itu sudah bukan urusanku lagi."
Aku tersenyum menahan jengkel. Wajah dan omongan Jimin itu sama sekali tidak serasi. Wajahnya selalu tampak polos dan manis. Senyumnya selalu memaksa orang lain untuk ikut tersenyum. Tapi di balik itu semua, omongannya benar-benar pedas dan menyakitkan.
"Baiklah ... baiklah," kataku setelah menutup pintu kulkas. "Pulanglah, sekarang sudah larut malam."
Lelaki itu melirik jam dinding. "Baru juga pukul sepuluh."
Aku memutar bola mataku. "Tetap saja, kau harus pulang."
"Apa kau sudah mengantuk?" tanyanya. "Bukankah besok kuliahmu libur?"
"Begitulah. Tapi ini sudah malam, Jimin," kilahku.
Jimin menyeringai. "Kau benar-benar gadis yang tidak tahu caranya bersenang-senang, ya?"
Aku mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
Tiba-tiba, Jimin mendorong tubuhku hingga punggungku menekan pintu kulkas. Kedua tangannya menahan lenganku hingga membuatku kesulitan bergerak. Aku mendongak menatapnya dengan ekspresi panik.
Tiba-tiba, aku teringat nasihat tentang jangan berduaan dengan lelaki sampai larut malam. Apalagi lelaki itu jelas-jelas bertabiat buruk. Mengundangnya masuk ke rumah sama saja dengan mengumpankan diri kepadanya.
Aku terlalu lengah sejak mengizinkan Jimin menginap di rumahku tempo hari. Kupikir sifatnya jauh lebih baik seiring dengan berjalannya waktu. Ternyata, aku hanya terlalu naif.
"J-Jimin, apa yang kau lakukan?" tanyaku waswas.
"Bersenang-senang," jawabnya sambil menatap bibirku.
Aku berusaha melepaskan diri darinya, tapi ia malah mencengkeram lenganku lebih kuat. Senyum malaikatnya kembali muncul, tapi aku tidak punya kesempatan untuk terpesona padanya. Aku merasa benar-benar ketakutan sekarang.
"Jimin-ah! Lepaskan! Apa-apaan kau?! Apa kau mabuk?!" Aku mulai berteriak panik karena ia menolak melepaskanku.
Seringaiannya kembali muncul. "Apa salahnya? Aku pacarmu, 'kan? Menghabiskan malam bersama kekasih bukankah suatu hal yang normal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomansaNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...