110

10.9K 1.1K 264
                                    

Aku berpikir Jimin telah kembali tertidur karena tangisannya telah berhenti sejak beberapa menit yang lalu. Setelah menghapus bekas air matanya dengan ibu jariku, aku hanya terduduk di pinggir ranjang. Menatap sosoknya yang tertidur nyenyak, menyadari bahwa aku telah lama tidak melihat pemandangan seperti ini.

Aku tidak tahu berapa lama aku menatapnya dalam diam. Tanganku gatal ingin menyentuhnya, tapi aku berusaha keras menahan diri. Aku tidak bisa menyentuhnya sesuka hatiku lagi dan itu membuatku sedih.

Beberapa saat kemudian, aku mulai beranjak berdiri. Namun, sebuah tangan segera menahan pergelangan tanganku. Aku menoleh terkejut ke arah Jimin yang sekarang telah membuka kedua matanya.

"Kau mau ke mana?" tanyanya serak, tangannya masih mencengkeram pergelanganku erat.

"Pulang," jawabku pendek.

"Tidurlah di sini," balasnya setengah mengantuk. "Sekarang sudah larut malam."

"Tidak mau," tolakku. "Lepaskan aku dan lekaslah tidur."

"Tidak mau," tolaknya.

Aku menjerit kaget karena ia menarikku hingga aku terjatuh ke atas tubuhnya. Aku berusaha melepaskan diri, tapi ia mengeratkan pelukannya pada tubuhku. Sampai akhirnya, aku menyerah dan membiarkannya menarikku semakin mendekat padanya.

Aku terlalu lelah untuk melawannya. Aku letih karena harus memapah tubuhnya sendirian. Selain itu, meskipun ia masih mabuk, tapi tenaganya jauh lebih besar dariku. Lagipula ... aku ....

Kurasa, aku merindukan pelukannya ....

Ketika menyadari bahwa aku tidak lagi mencoba melepaskan diri, Jimin mengeratkan pelukannya. Kedua matanya sekarang tertutup, wajahnya sudah tidak semerah tadi. Sepertinya, rasa mabuknya sudah sedikit menghilang.

"Jimin, lepaskan aku dan biarkan aku pergi," kataku.

Bukannya menuruti permintaanku, Jimin malah berguling hingga tubuhnya kini berada di atas tubuhku. Kedua tangannya mencengkeram pergelangan tanganku hingga membuatku tidak bisa bergerak. Ia juga menjepit kakiku di antara kedua pahanya, memaksaku untuk pasrah di bawah kungkungannya. Tanpa bisa kucegah, jantungku berdetak dengan kencang.

"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," ujarnya.

Aku mencoba menggerakkan kedua tangan, tapi ia malah mencengkeramku lebih kuat. "Cepat katakan dan lepaskan aku."

Lelaki itu menggeleng. "Butuh waktu lama untuk mengatakannya."

"Jimin-ah, kau sedang mabuk sekarang."

"Kau tahu bukan, setelah tertidur sebentar maka rasa mabukku akan hilang."

"Kau masih sangat mabuk dan kau menyakitiku," rengekku.

Tatapan kami sekarang terpaku pada tanganku yang bergerak-gerak gelisah. Kulit di pergelangan tanganku mulai memerah karena cengkeraman Jimin. Hal itu segera membuatnya tersadar dan ia buru-buru melepaskan tangannya dariku. Ia bahkan tidak sadar dengan tangannya sendiri yang sedang terluka.

"Ma-maafkan aku," cicitnya.

Kesempatan itu kugunakan untuk melepaskan diri darinya. Tak butuh waktu lama sampai aku mengubah posisi kami. Jimin menatapku terkejut saat aku telah berada di atas tubuhnya. Telapak tanganku menekan sprei di samping bahunya. Gantian kakiku yang mengunci kakinya di bawah tubuhku.

"Aku ... aku akan melupakan kejadian ini dan segera pergi dari sini," kataku.

"Izinkan aku bicara padamu. Sepuluh menit ... tidak! Lima menit saja," mohon nya.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan."

Jimin menggeleng. "Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan."

"Aku merasa tidak ada yang perlu kubicarakan denganmu."

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang