"Punya siapa ini?" tanya ibuku heran sambil mengangkat sepasang sneakers berwarna putih.
"Itu ...." Aku tidak sanggup menatap mata ibuku.
"Ga Eun, jawab pertanyaan Ibu. Ini milik siapa? Sudah pasti ini bukan milikmu karena ukuran kakimu tidak sebesar ini," cecarnya.
Aku akhirnya mendongak untuk menatap wajah ibuku. "Itu ... itu milik Jimin."
Aku menelan ludah gugup, sementara ibuku menatapku dengan pandangan curiga. Tak lama, matanya nyalang menatap seluruh isi rumahku seolah-olah sedang mencari sesuatu. Aku bisa mati kalau ia tahu diriku menyembunyikan Jimin di rumah ini.
"Dia di sini?" tanyanya.
"Ti-tidak!" jawabku gugup, otakku berpikir keras untuk mengarang cerita. "Dia ... dia sengaja menaruhnya di situ karena aku tinggal sendirian. Tukang antar atau tukang reparasi tidak akan menggangguku kalau melihat aku sedang bersama seseorang."
Ibuku menatapku sangsi. "Begitu?"
"Iya," dustaku.
"Kau tahu, bukan? Ibu tidak melarangmu berkencan, tapi kalian tidak bisa seenaknya saja. Jika kalian memang ingin tinggal bersama, kalian harus menikah terlebih dahulu," ujarnya panjang lebar.
"Kami tidak tinggal bersama!" kilahku. "Lagipula, kami terlalu muda untuk menikah sekarang."
Aku tidak sepenuhnya berbohong karena kenyataannya kami memang tidak tinggal bersama. Jimin hanya sering menginap di rumahku, begitu pun sebaliknya. Tapi aku tidak bisa mengatakan bahwa kami sudah tidur bersama. Kepalaku yang menjadi taruhannya.
"Kau pikir aku akan mengizinkanmu menikah sekarang?" decak ibuku. "Masa depan Jimin mungkin cerah, tapi siapa yang tahu tentang masa depanmu? Setidaknya kau harus lulus kuliah dan bekerja dulu."
"Nah, itu Eomma tahu!" seruku. "Kenapa masih mencurigai kami?"
Ibuku menatapku dengan tatapan menyelidik. "Ini benar-benar hanya untuk melindungimu, 'kan?"
Aku mengangguk mantap. "Akhir-akhir ini banyak tindak kejahatan, jadi ia merasa khawatir padaku karena aku tinggal sendirian."
Ia menaruh sneakers itu di dekat keset. "Kau seharusnya menaruhnya di sini supaya gampang terlihat."
"Eoh ... aku akan menjaganya tetap di situ," balasku lega.
"Kalau begitu, Ibu pergi dulu," katanya seraya membuka pintu rumah. "Pastikan juga untuk memperbaiki pintu kamar mandi dan cobalah untuk rapi sedikit."
Aku mengangguk. "Iya-iya, baik. Dah Eomma, hati-hati di jalan."
Aku masih menatap punggung ibuku sampai menghilang di belokan sebelum menutup pintu rumah. Saat aku berbalik, aku mendapati Jimin sedang mencomot sepotong gyeran mari di atas piring. Ia pasti berjalan mengendap-endap keluar dari kamar mandi karena aku tidak mendengar suara langkah kakinya.
Aku mendesah. "Sudah kubilang, kau boleh keluar saat aku menyuruhmu keluar."
Jimin mendongak dan segera nyengir saat melihatku sedang menatapnya. "Ibumu sudah pergi, aku bisa mendengarnya dari dalam kamar mandi."
"Apa kau kelaparan?" tanyaku sambil berjalan ke arahnya.
Ia mengangguk, sibuk mengunyah sepotong gyeran mari. "Aku mudah lapar ketika panik."
"Kalau begitu, kau boleh menghabiskannya," kataku sambil tersenyum.
Matanya berbinar. "Benarkah? Tapi bagaimana denganmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...