Kupikir, hari-hariku akan berjalan dengan normal. Kuliah, sesekali menongkrong dengan Ji Eun dan geng Jimin. Minus Eric tentu saja, karena ia masih berada di pusat rehabilitasi di Pulau Jeju. Saat akhir pekan tiba, aku dan Jimin akan pergi berkencan berdua seperti biasanya.
Kencan kami layaknya pasangan normal yang lain. Makan malam di restoran, tidur berpelukan di depan televisi, atau menonton film di bioskop. Kami bukan orang yang sering berlibur jauh dari rumah mengingat kesibukan masing-masing. Kecuali beberapa liburan bersama teman-teman kami yang biasanya sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Sekarang, Jimin sudah disibukkan dengan kuliah dan drama musikalnya, sementara aku juga disibukkan dengan kuliahku sendiri dan rencana magang yang telah kususun.
Bagiku, bisa bertemu dengan Jimin selama beberapa kali dalam seminggu merupakan sesuatu yang luar biasa. Kadangkala, aku bahkan harus mengomelinya karena ia membolos latihan teater demi bisa bertemu denganku. Tetapi, kekesalanku akan memudar kalau sudah melihatnya tampil di atas panggung. Panggung teater seperti oksigen baginya, ia akan larut dalam perannya dan menanggalkan sosok Park Jimin yang kukenal. Itulah mengapa ia bisa sukses bermain drama musikal. Kemampuannya sudah tidak perlu diragukan lagi.
Hubunganku dan ayah Jimin juga baik. Begitu pula hubungan Jimin dengan keluargaku. Kami telah makan malam bersama beberapa kali. Baik itu atas undangan ayah Jimin atau undangan dari kedua orang tuaku. Aku senang melihatnya sering tersenyum, seakan-akan sosok Jimin yang angkuh dan dingin telah pergi meninggalkan dirinya. Sayangnya, ada satu hal yang kurang dalam suasana bahagia itu. Ibu Jimin tidak pernah menemui kami lagi dan aku tidak berani menanyakan alasan ketidakhadirannya pada kekasihku.
Kupikir, kami bisa terus seperti itu selama beberapa saat ke depan. Hidup normal selayaknya pasangan kekasih di luar sana. Saling melemparkan senyuman manis terhadap satu sama lain. Atau saling berpelukan erat ketika akhirnya bertemu setelah tidak saling jumpa selama beberapa hari. Tanpa hadirnya masalah besar yang akan membuat salah satu dari kami merasa khawatir.
Mungkin kami memang tidak bisa menghindari selisih paham. Apalagi ketika kami sama-sama tertekan karena merindukan satu sama lain. Tapi dengan satu pelukan atau satu kecupan, masalah sepele itu akan menghilang dengan sendirinya. Tidak ada yang menginginkan sebuah hubungan yang tidak sehat, bukan?
Tapi malam ini, untuk pertama kalinya aku benar-benar kecewa pada Jimin.
Laki-laki itu masuk ke dalam rumah saat aku sedang membaca rencana magangku. Aku mendongak dari buku yang kubaca untuk tersenyum padanya. Lalu, senyumku segera memudar secepat datangnya.
Jimin balas tersenyum dengan wajah penuh lebam. Matanya agak bengkak dan ada sedikit darah yang telah mengering di bibirnya. Pipinya juga memar dan berwarna keunguan. Hoodie hitam polos yang ia pakai terlihat sangat kusut.
Aku segera melemparkan bukuku dan turun dari ranjang. Bahkan aku hampir saja tersandung kakiku sendiri karena segera berlari ke arahnya tanpa pikir panjang. Jantungku rasanya berdebar kencang karena khawatir sekaligus takut.
"Ga Eun!" seru Jimin saat aku telah sampai di hadapannya.
Kedua tangannya menahan lenganku. Ia tampak kaget, entah karena melihatku yang hampir terjatuh ataukah karena ekspresi di wajahku. Aku masih berdiri di tempatku dengan dada naik turun.
"Apa yang terjadi?" tanyaku, salah satu tanganku terangkat untuk menyentuh bibirnya.
Jimin meringis. "Aku berkelahi."
"Apa?!" Mataku melebar menatapnya.
Ia menangkap pergelangan tanganku. "Aku tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa katamu?" Nada suaraku naik satu oktaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...