111

17.2K 1.1K 211
                                    

Warning 21+!!!

Jimin mematung, sementara pupilnya melebar. Beberapa menit berlalu, hanya suara detak jantung kami yang terdengar lebih keras dari biasanya. Tangannya lalu terangkat untuk menekan bagian belakang kepalaku.

"Kau berbau soju," komentarku ketika bibirnya hampir menempel di bibirku.

Jimin berhenti. "Tunggu sebentar."

Setelah bilang begitu, ia menggeser tubuhku dan beranjak ke kamar mandi. Aku menunggu dengan gugup. Beberapa saat kemudian, lelaki itu kembali dengan wajah yang lebih segar. Sepertinya, ia baru saja menggosok gigi dan mencuci muka.

Jimin kembali padaku dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. "May I ...?"

Kami bertatapan selama beberapa detik. Aku kemudian mengangguk. Tak lama, bibir kami telah bertemu. Seiring ciuman kami yang semakin dalam, aku mengikuti Jimin menutup mata.

Kedua tanganku sekarang berada di rambutnya, sedangkan tangannya memeluk punggungku erat. Napas kami mulai tersengal hingga akhirnya kami memutuskan untuk berhenti berciuman. Tatapan kami beradu dan gelombang panas gairah telah menguasai tubuh kami berdua.

Tanpa kusadari, tangan Jimin menempel di pinggangku. Entah sejak kapan ia menyusupkan tangannya ke balik kaos yang kupakai. Jemarinya mengelus kulitku dengan gerakan memutar.

Jimin mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas pangkuannya. Ia lalu menarikku mendekat padanya sebelum kembali menciumku. Kali ini, ia tidak lagi menahan diri. Ciumannya terasa menuntut hingga kupikir kepalaku akan meledak.

Aku refleks menarik rambutnya saat bibirnya turun menyusuri rahang menuju leherku. Erangan lirih meluncur dari sela-sela bibirku karena butterfly kiss yang ia berikan di titik sensitif di kulitku. Beberapa saat kemudian, terdengar suara robekan keras yang bergema di dalam ruangan.

Mataku melebar. "Jimin!"

Kaos yang kupakai telah robek sampai pertengahan perutku. Bukannya berhenti, Jimin malah semakin merobek pakaianku hingga benar-benar terbelah menjadi dua. Kaos yang kupakai agak tebal karena udara yang lumayan dingin. Namun, mudah saja baginya untuk merobek kaos tersebut hingga tidak berbentuk lagi.

Aku memaki, membuatnya menyeringai. Kubiarkan ia melepaskan kaos yang telah robek itu dari tubuhku hingga hanya menyisakan bra saja. Ia lalu mengangkat bra-ku hingga payudaraku terpampang sempurna.

Tanpa membuang waktu, Jimin segera menyurukkan kepalanya di antara belahan dadaku. Tangannya meremas payudaraku lembut, membuatku merintih. Aku tidak ingin memikirkan apa pun, termasuk hubungan kami yang berantakan. Kenikmatan yang diberikan oleh jemari dan mulutnya telah menguasai tubuhku hingga kupikir aku telah kehilangan akal sehatku.

Setelah puas memainkan lidahnya di putingku, Jimin menidurkanku di atas sprei. Ia lalu menyusuri perutku dengan bibirnya. Tangannya sibuk melepas kancing celana yang kupakai. Tak butuh waktu lama sampai ia berhasil menurunkan celanaku. Dilemparkannya pakaianku hingga mendarat di lantai.

"Buka pahamu lebih lebar," perintahnya karena aku menyilangkan kakiku.

"Aku tidak yakin kita bisa-"

Jimin menatapku intens. "Kau menginginkannya, bukan? Kalau kau tidak menginginkannya, kau pasti sudah menolakku sejak tadi."

Aku menggigit bibir, tidak bisa menyangkal perkataannya. Jimin menyentuh lututku dan membuka kakiku perlahan-lahan. Pada akhirnya, aku membiarkannya menunduk di antara kakiku. Bibirnya menyusuri pahaku dan aku berjengit tiap kali dirinya menyesap kulitku. Aku menunduk dan mendapati pahaku telah berbercak kemerahan karena kissmark yang ia berikan.

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang