82

9.4K 1K 177
                                    

Hari ini, aku dan Jimin memutuskan untuk makan di luar. Setelah berdebat hampir setengah jam, kami akhirnya memutuskan untuk makan tteokbokki¹. Ada satu tempat makan yang sering kukunjungi. Warung itu terletak tidak jauh dari kampusku. Di sana, kau bisa memesan tteokbokki dengan level pedas yang kau inginkan.

Sepuluh menit yang lalu, aku dan Jimin masih mengobrol dan tertawa. Tapi sekarang, aku dan dirinya saling menatap dengan sumpit di tangan masing-masing. Ekspresi serius tergambar di wajah kami berdua. Di depan kami, ada dua buah mangkuk tteokbokki. Satu adalah milikku, sedangkan satunya lagi adalah miliknya.

"Kau yakin ingin bertaruh denganku? Semua orang tahu aku tidak suka kalah, meskipun aku harus bertanding dengan kekasihku sendiri," Jimin memulai.

Aku mengangguk mantap. "Tentu. Siapa yang bisa memakannya sampai habis tanpa minum, dia yang akan jadi pemenangnya 'kan?"

"Kau benar-benar yakin?" tanyanya sangsi. "Ini level terpedas yang mereka punya lho."

"Kenapa kau berisik sekali sih? Kau takut kalah dariku?" balasku jengkel.

Jimin menyeringai. "Ingat ya, pemenangnya bisa meminta apa pun dari pihak yang kalah. Apa pun ...."

"Oke, deal. Ayo mulai sekarang!" seruku.

Bukannya mulai menyantap makanan super pedas di hadapannya, Jimin malah mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalam gelas. Ia lalu menggeser gelas tersebut ke arahku. Senyuman manis masih terpasang di wajahnya yang tampan.

"Aku tidak ingin kau kerepotan mencari air nanti," ejeknya.

"Ish, yaaa! Kita lihat saja siapa yang tertawa paling akhir," ujarku tidak terima.

Jimin mengulurkan satu tangannya untuk mencubit pipiku. "Buktikan kalau begitu."

Aku buru-buru melepaskan tangannya dariku. Lelaki di hadapanku hanya balas menatapku dengan senyuman lebar di wajahnya. Hal itu membuatku semakin merasa kesal karena ia pasti sedang meremehkanku.

"Satu ... dua ... tiga!"

Dalam hitungan ketiga, aku dan Jimin mulai memakan tteokbokki kami. Menit pertama, aku masih bisa menahan rasa pedas yang seolah-olah membakar bibir dan lidahku. Hingga beberapa menit berlalu, aku sudah mulai berkeringat. Saat aku mendongak untuk menatap Jimin, ia hanya balas menatapku sambil memakan makanannya dengan tenang.

"Kau ingin menyerah sekarang?" tanyanya, lalu melirik ke arah jam di pergelangan tangan. "Kita bahkan baru mulai sekitar lima menit yang lalu."

"Aku tidak akan pernah menyerah," ujarku sewot.

Padahal kenyataannya, bibirku sudah mulai membengkak dan hidungku mulai berair. Berkali-kali, aku harus menarik kertas tisu dari wadah untuk mengusap mulutku. Tiap kali aku mendongak dari mangkokku untuk menatap Jimin, ia tampak makan dengan tenang seolah-olah hidangan di hadapannya tidak terasa pedas sama sekali.

Beberapa saat kemudian, lelaki itu ikut mendongak untuk menatapku, tatapannya tampak sedikit khawatir. "Ga Eun, kau boleh menyerah sekarang."

Aku memutar bola mataku. "Dalam mimpimu."

Jimin menaikkan sebelah alisnya. "Jangan salahkan aku kalau kau nanti sakit perut."

Aku memilih untuk mengabaikannya karena aku menolak untuk menyerah begitu saja. Sama halnya dengan Jimin, aku merupakan tipe orang yang tidak mau kalah. Aku terbiasa melakukan apa pun sebaik mungkin, sampai pada batas kemampuanku. Meskipun itu hanyalah taruhan konyol seperti yang kami lakukan sekarang.

Pada akhirnya, aku harus mengakui kekalahanku dari Jimin. Aku tidak bisa menghabiskan tteokbokki terpedas dalam sejarah hidupku itu. Isi mangkok di hadapanku masih separuh, sedangkan mangkok milik Jimin telah benar-benar bersih. Aku meletakkan gelasku yang telah kosong, sedangkan lelaki di hadapanku duduk menyandar di kursinya.

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang