"Siapa?" tanya Jimin.
Aku menoleh dan mendapati lelaki itu telah berdiri di belakangku. Aku mengangkat bahuku karena aku tidak mengenal orang yang mengirim pesan. Nomor asing itu tidak ada dalam buku kontakku.
Jimin merebut telepon genggamku. Ia menatap puluhan pesan di layar ponsel. Dahinya mengernyit tidak suka sebelum kembali beralih menatapku. "Siapa si kurang ajar ini?" tanyanya.
"Aku juga tidak tahu. Nomor itu tidak ada dalam kontakku," jawabku.
Jimin menatapku curiga. "Tapi dia tahu namamu. Kau tidak selingkuh dariku, 'kan?"
Dahiku mengernyit. "Kau ngomong apa sih?"
Lelaki itu memiringkan kepala seraya menaikkan satu alis. "Kuharap kau masih ingat dengan kesepakatan kita. Tidak berhubungan dengan lawan jenis kecuali kontrak kita telah berakhir."
"Yaaa, sudah kubilang aku tidak tahu siapa dia!" Aku mulai kesal.
"Oke ... oke ...." Jimin mengangkat tangannya tanda menyerah. Ia kembali menatap telepon genggamku, lalu mengaturnya menjadi mode getar. Dilemparkannya benda itu ke arah ranjang. Kemudian, ia mendudukkanku ke atas meja.
"Jimin! Apa yang kau lakukan?" tanyaku gugup.
Jimin mengerling. "Ssstt ... aku belum selesai denganmu."
Jimin mencengkeram kedua tanganku, lalu mendekatkan wajahnya. Ia mulai mencium bibirku lagi. Saat aku menolak membuka mulut, digigitnya bibir bawahku hingga desahan berhasil lolos dari celah bibirku. Ia kemudian bermain-main dengan lidahku sebelum menurunkan ciumannya ke arah rahangku.
Saat menyadari bahwa aku tidak lagi melawan, ia melepaskan tangannya dariku. Aku mencengkeram pinggiran meja saat bibirnya menyusuri leherku. Ia lalu menurunkan kerahku sedikit hingga menampakkan tulang selangkaku. Diciumnya tulang selangkaku sebelum memberikan kissmark di sana, membuatku mendesah lirih. Ia menyentuh bekas ciuman berwarna merah gelap itu dengan ibu jarinya.
"Bagus ...." Jimin memuji hasil karyanya sendiri.
Kupikir ia akan berhenti, tapi ternyata perkiraanku salah. Malahan, ia menarikku ke dalam pelukannya. Kepalaku menyandar di bahunya, sedangkan tangannya menyingkirkan helaian rambutku dari leher. Ia mulai mengecup ringan kulitku, tepat di bawah telingaku. Hal itu membuat seluruh tubuhku bergetar.
"Ternyata di sini," bisiknya, membuatku menggigil.
Jimin mulai menggoda titik sensitif di leherku. Aku semakin mencengkeram pinggiran meja tiap kali dirinya menggunakan lidahnya pada kulitku. Hal itu membuat lelaki itu tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Aku bisa merasakan bibirnya menyunggingkan senyum, sementara dirinya terus memainkan mulutnya pada permukaan kulitku.
"Jimin ... aaaah ...." Akhirnya aku tidak bisa menahan diri karena Jimin menggigit kulit leherku pelan.
"Good girl. Moan my name," ujarnya.
Teleponku terus-menerus bergetar, tapi aku tidak memperhatikannya. Begitu pula dengan Jimin. Kami terlalu larut dalam euforia. Lelaki itu sibuk menyenangkanku dengan bibir dan lidahnya, sedangkan aku sendiri memilih menikmati perlakuannya tersebut.
Tiap kali tubuhku menggelinjang, ia akan tersenyum puas. Sementara itu, aku hanya bisa pasrah dalam pelukannya. Ini pertama kalinya seseorang menyentuhku secara sensual. Rasanya, kepalaku seperti akan meledak karena kepuasan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Jimin mengangkatku dan berjalan menuju ke arah ranjang. Dibaringkannya tubuhku di atas tempat tidur. Kami saling menatap tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya gairah yang tampak memancar dari mata kami berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomanceNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...