Katanya, aku sudah pingsan selama tiga hari. Yang pertama kulihat setelah siuman adalah Ji Eun. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku tersenyum padanya dengan susah payah, tapi hal itu malah membuatnya menangis keras.
Setelah selesai menangis, ia berkata padaku, "Aku belum menghubungi orang tuamu. Sebaiknya kita menghubungi mereka."
Aku menggeleng. Orang tuaku akan sangat cemas melihat keadaanku. Aku tidak ingin mereka merasa sedih. Aku hidup jauh dari mereka saja, mereka seperti tidak rela. Apalagi jika mengetahui bahwa aku hampir mati. Mataku mengisyaratkan pada Ji Eun untuk tidak mengabarkan hal ini pada orang tuaku. Ia hanya mendesah, kemudian menggangguk dengan berat hati.
Dadaku terasa sakit setiap kali bernapas, apalagi berbicara. Selama dua hari selanjutnya, aku hanya bisa menggunakan bahasa isyarat. Pada hari ketiga, aku sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terasa menyakitkan.
"Jimin mana?" tanyaku pada Ji Eun saat ia kembali menjengukku seorang diri.
Ji Eun menoleh ke belakang. Aku juga mengikuti arah pandangannya, tapi tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Ada sedikit rasa kecewa yang menyelinap di hatiku.
"Loh, dia tadi bersamaku," balas Ji Eun.
Aku tidak bisa mengatakan pada Ji Eun bahwa Jimin belum menjengukku sama sekali. Lagipula, Jimin juga babak belur gara-gara aku. Dia hampir mati karena menolongku, padahal aku bukan siapa-siapanya. Hal itu membuatku merasa tidak enak.
"Apa dia baik-baik saja?" tanyaku akhirnya.
Ji Eun mengangguk. "Dia harus ke rumah sakit, tapi tidak ada luka yang serius."
Aku bernapas lega.
"Yaaa!" seru Ji Eun. "Kau yang harusnya dipedulikan. Beberapa tulang rusukmu patah. Kalau terlambat sedikit saja, aku tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi padamu."
"Aku harus berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku," kataku.
Ji Eun menatapku heran. "Lho, apakah kau belum bertemu dengannya? Setiap malam, ia selalu menungguimu."
Perkataan Ji Eun membuat jantungku berdebar. Kali ini bukan karena sakit, tetapi karena harapan. Ternyata, ia masih peduli padaku. Malam ini, aku memutuskan untuk menunggunya.
Jimin benar-benar datang. Aku bisa mendengarnya ketika ia membuka pintu. Setelah itu, terdengar suara langkah kakinya yang menghampiri ranjang. Aku buru-buru menutup kedua mataku dan berpura-pura tidur.
Aku bisa mencium wangi parfum saat Jimin duduk di dekat ranjangku. Kurasakan tangannya membelai rambutku dengan lembut. Tidak ada suara lain yang terdengar selain usapan lembut telapak tangannya pada rambutku. Tak lama, terdengar suara panggilan dari telepon genggamnya.
"Hyeong¹ ...." Suaranya terdengar lelah. Aku tidak bisa mendengar jawaban di seberang telepon.
"Hyeong, aku tidak mau tahu. Kau harus bisa membuat keparat itu dihukum atau aku yang akan bertindak dengan caraku sendiri." Jimin diam mendengarkan jawaban dari seberang telepon.
"Aku ada di sana!" Lelaki itu buru-buru menurunkan nada suaranya yang tadinya meninggi. "Aku ada di sana dan melihatnya mematahkan rusuk kekasihku. Apa aku salah jika memberinya pelajaran? Lagipula, kami tidak memukulnya dengan keras."
Jimin diam lagi karena sepertinya seseorang di sana sedang berbicara. "Aku jarang meminta tolong padamu. Tapi kali ini, bantulah aku, Hyeong."
Aku masih berpura-pura tidur. Beberapa saat kemudian, Jimin memutuskan sambungan telepon. Ia lalu mengelus kepalaku lagi. Mungkin karena belaian tangannya yang lembut, aku merasa mengantuk dan akhirnya tertidur pulas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
Storie d'amoreNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...