79

12.1K 1.1K 169
                                    

Warning 21+!!!

Aku mengelus rambut Jimin dengan jemariku, sementara ia tertidur nyenyak. Wajahnya tampak tenang dan damai, membuatku tak bisa berhenti tersenyum. Aku menyukai membelai rambutnya yang hitam dan memainkannya di tanganku. Helaian rambutnya yang lembut seperti air yang mengalir di sela-sela jariku.

Aku masih sering bertanya-tanya pada diriku sendiri bagaimana aku bisa berkencan dengan lelaki tampan ini. Semua diawali dengan taruhan konyol yang ia lakukan bersama teman-temannya. Kekalahannya dalam taruhan itu harus dibayar dengan menaklukkanku. Lebih tepatnya, ia harus bisa meniduriku padahal kami baru saja bertemu.

Tapi semuanya sudah berlalu. Lelaki di hadapanku ini bisa dengan mudah membuatku memberikan apa yang ia mau. Aku benar-benar takluk padanya dan tidak bisa melarikan diri dari pesonanya. Kurasa, aku tidak akan bisa hidup tanpa dirinya di sisiku. Bahkan hanya membayangkannya saja sudah membuatku ketakutan.

Tiba-tiba, mata Jimin terbuka. "Jagi, apa yang kau lakukan?"

Suaranya serak sehabis bangun tidur. Aku tersenyum, kemudian menarik tanganku kembali. Ia menguap sebentar dan meregangkan tubuhnya. Gerakannya membuat selimut yang menutupi badannya melorot sampai ke perut, memperlihatkan otot bisep dan dadanya yang keras. Aku segera menahan napas melihat pemandangan indah di hadapanku.

Jimin mengusap kedua matanya untuk memperjelas pandangannya. Ia lalu menarikku hingga dadaku menempel pada dadanya. Kulit kami yang telanjang saling bergesekan dan aku merasa dadaku berdebar. Aku bahkan sudah tidak peduli apakah ia menyadari debaran jantungku atau tidak. Berada dalam pelukannya yang hangat membuatku luar biasa nyaman. Ia lalu mengecup keningku sekilas.

"Hmm? Apa yang sedang dilakukan kekasihku sepagi ini?" tanyanya lagi.

Aku mengangkat tanganku dan meneruskan memainkan rambutnya. "Mengagumi ketampananmu."

Jimin tertawa kecil, tangannya terangkat untuk menggenggam tanganku. Kami saling menatap dalam diam, sama-sama menikmati pemandangan di hadapan kami. Mata yang masih agak membengkak, suara yang serak, dan rambut yang acak-acakan. Namun, itu tidak mengurangi perasaan yang kami rasakan terhadap satu sama lain. Aku bisa melihat raut wajahnya yang terpesona olehku. Dan ketika aku menatap dalam pada bola matanya, aku mendapati diriku sendiri berbinar penuh kekaguman terhadapnya.

"Aku ingin bangun setiap pagi dan melihatmu ada di sampingku," ujarnya tiba-tiba.

Aku tertawa. "Aku ada di sampingmu sekarang."

"Setiap hari," ulangnya. "Bukan hanya beberapa kali dalam seminggu."

"Kita bertemu hampir setiap hari."

"Itu tidak ...." Jimin berdeham. "Bukan itu maksudku."

"Lalu?" pancingku.

"Hidup bersama ... mungkin," jawabnya tak yakin.

"Sebuah pernikahan?"

Jimin mengerutkan keningnya. "Bukan. Bukan pernikahan."

"Ah, kau tidak ingin menikah denganku."

"Tidak!" balasnya cepat. "Bukan begitu! Aku ingin menikah denganmu. Tapi yah, kau tahu ...."

Aku tersenyum. "Kau belum siap."

Jimin mengangguk lemah. "Aku benar-benar belum siap."

Melihatku yang tidak membalas perkataannya, ia cepat-cepat melanjutkan, "Kita akan menikah, tentu saja. Tapi tidak dalam waktu dekat ini. Sekarang, aku hanya belum yakin apakah aku bisa menjadi suami dan ayah yang baik."

"Kalau kau berpikir seperti itu, maka kau harus mengendalikan libidomu terlebih dahulu atau kita akan berakhir memiliki seorang bayi yang lucu," gurauku. "Saat itu terjadi, aku tidak akan membiarkanmu lepas dari genggamanku."

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang