Pagi telah beranjak siang. Matahari mulai naik, menyinari halaman rumah sakit tempatku dirawat. Aku dan Ken sedang berdiri di teras dan menghadap ke arah cahaya matahari yang menyilaukan. Sikap protektifnya kemarin telah menghilang dan ia kembali menjadi orang yang ceria.
Kami menatap Na Na yang melambaikan tangannya melalui kaca mobil yang setengah terbuka. Aku balas melambai padanya. Tak lama, mobil berwarna silver itu meluncur keluar dari halaman rumah sakit dan berbaur bersama kendaraan-kendaraan lain.
Orang tua Na Na memutuskan untuk membawanya ke Amerika Serikat dengan harapan penyakitnya bisa segera diobati. Ia didiagnosis menderita leukemia limfoblastik akut¹. Konon kabarnya, sedang ada penelitian tentang pengobatan penyakit ini di Amerika Serikat, sehingga orang tua Na Na memutuskan untuk membawa putri mereka ke sana.
"Dia kuat, ya?" kataku tiba-tiba.
Ken menatapku. "Siapa? Na Na?"
Aku mengangguk. "Penyakitnya tampak tidak bisa merenggut sikap cerianya."
Ken tersenyum, tatapan matanya sekarang melekat pada jalanan. "Dia memang terlihat kuat sepanjang waktu, tapi dia masih tetap anak kecil. Terkadang, dia akan menangis setelah muntah atau ketika rambutnya makin rontok karena kemoterapi²."
"Kau juga kuat," balasku, ikut tersenyum.
Ken menoleh padaku. "Aku?"
Aku mengangguk lagi. "Pasti sangat sulit menjaganya karena mengingatkanmu pada adikmu."
"Adikku tidak seceria Na Na. Dia lebih pemalu dan pendiam. Aku bahkan jarang melihatnya menangis."
"Begitukah?" tanyaku seraya menyipit padanya karena pandanganku terganggu oleh sinar matahari.
Tiba-tiba, Ken bergerak maju ke hadapanku dan berdiri menghadap padaku. Tubuhnya yang tinggi menghalangi panas matahari mencapai tubuhku. Aku mengerjap, berusaha menghilangkan rasa silau yang sedari tadi menusuk mataku.
"Kau juga kuat, baik, dan manis," katanya sembari tersenyum.
Aku tertawa. "Terima kasih atas pujiannya."
"Aku tidak memuji. Aku berbicara apa adanya."
"Baiklah. Kalau begitu, ayo kita masuk," ajakku.
Aku berbalik dan mulai melangkah ke arah pintu, tetapi Ken segera menarik pergelangan tanganku. Ia kemudian menarik tubuhku, membuatku hampir menjerit karena terkejut. Tak lama, aku telah berada dalam pelukannya. Tubuhnya besar, lebih besar dari Jimin. Tetapi sama-sama terasa hangat.
"K-Ken?" panggilku tergagap.
"Aku memutuskan untuk menjadi dokter sekaligus pengelola rumah sakit ini," katanya tiba-tiba. "Terima kasih telah membantuku untuk memutuskan."
"M-maksudnya?"
"Hanya saja ... kau dan Na Na menjadi alasan kenapa aku memutuskan hal sebesar ini dalam hidupku. Pembicaraan kalian tempo hari membuatku memantapkan pilihan. Kalian membuatku merasa lebih percaya diri."
"O ... oke. Tapi bisakah kau lepaskan aku?"
"Kenapa harus Jimin yang menemukanmu lebih dulu? Kenapa bukan aku?"
"Ken, aku tidak mengerti ...."
"Bisakah kau membiarkanku memelukmu sebentar saja?"
"Tapi─"
"Aku tidak memintamu untuk menyukaiku juga, aku hanya ingin sebuah pelukan."
Ken tertawa lirih, sedangkan aku tidak tahu harus bagaimana. Badanku kaku dengan mata membelalak. Kedua tanganku mengepal di samping tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cute Boy I've Met Before
RomansaNamanya Park Jimin. Dia yang mencuri ciuman pertamaku. Dia juga satu-satunya orang yang berani menyentuhku. Kupikir aku telah terbebas darinya, tapi takdir terkadang senang mempermainkan manusia. --Seo Ga Eun-- So, before you turn the page, you can...