71

9.7K 1.2K 155
                                    

Aku menatap gedung pencakar langit di hadapanku. Di bagian depan gedung, ada tulisan "M Construction" berwarna perak mengilap. Setelah menarik napas panjang, aku masuk ke dalam gedung tersebut.

Aku berjalan menuju meja resepsionis. Seorang wanita cantik yang masih muda menyambutku dengan senyuman hangatnya. Ia memakai seragam berwarna merah maroon dengan rambut yang digelung rapi.

"Ada yang bisa kami bantu, Nona?" tanya si resepsionis.

"Umm, bisakah saya bertemu dengan Tuan Ma?" tanyaku.

"Tuan Ma? Apakah Anda sudah memiliki janji untuk bertemu beliau?" tanyanya balik.

"Uh, belum. Kalau saya membuat janji sekarang, kira-kira kapan saya bisa bertemu dengannya?"

Si resepsionis mengecek layar komputer. "Kemungkinan sebulan atau dua bulan lagi karena saat ini beliau sedang sangat sibuk."

"Se-sebulan sampai dua bulan?!" tanyaku terkejut.

Resepsionis itu mengangguk. "Jika Anda meninggalkan kartu nama Anda, kami akan segera menghubungi Anda saat Tuan Ma memiliki waktu luang."

"Tidak bisakah saya bertemu dengannya sekarang? Ini penting sekali. Tolong katakan padanya bahwa saya teman Eric," mohonku.

"Tapi, Nona ... Anda harus mengikuti prosedur yang ada."

"Saya mohon ...."

Resepsionis itu menggeleng. "Maaf, Nona. Saya benar-benar tidak bisa membantu Anda."

Aku diam. Sialan, bagaimana aku bisa menemui ayah Eric kalau begini? Dua bulan? Padahal Eric akan pergi ke China tak lama lagi. Kalau saja Jimin mau menemui Eric dan berbaikan dengannya, aku pasti tidak akan nekat pergi ke sini. Sayangnya Jimin marah tiap kali aku mengungkit tentang Eric. Sepertinya, aku harus mencari cara lain.

Aku mundur karena sudah ada antrian di belakangku. Ketika akan berbalik, aku tidak sengaja menabrak seseorang. Aku mengaduh, tanganku terangkat untuk memijit bahu kiriku yang baru saja berbenturan dengan lengan seseorang.

"Ah, saya sungguh minta maaf," ujarku seraya membungkukkan badanku.

"Tidak apa-apa," balas lelaki di hadapanku.

Aku mendongak untuk menatapnya. Laki-laki ini memiliki tinggi sekitar seratus tujuh puluh senti. Ia memakai kemeja putih yang dibalut dengan jas berwarna gelap. Rambutnya yang hitam legam disisir rapi ke belakang.

Laki-laki itu masih tersenyum, membuatku salah tingkah. Kalau saja aku belum punya pacar, aku pasti sudah ingin berkencan dengannya. Aku buru-buru menggelengkan kepalaku, mengusir khayalanku jauh-jauh.

"Silakan," kataku sambil mengangkat salah satu tanganku untuk mempersilakannya berjalan melewatiku.

"Terima kasih," balasnya sambil tersenyum manis.

Laki-laki itu baru saja akan berjalan melewatiku saat si resepsionis berteriak memanggil seseorang. "Tuan Henry, ada paket untuk Anda."

Henry? Henry yang itu? Henry yang sering dibanding-bandingkan dengan Eric?

Aku menengok ke sekelilingku. Banyak orang berlalu-lalang keluar masuk ke dalam gedung. Sementara itu, beberapa orang duduk santai di sofa di tengah ruangan. Aku penasaran, seperti apa tampang Ma Henry.

Lelaki yang tadi menabrakku, menyahut, "Aku akan mengambilnya setelah pulang nanti. Tolong simpankan untukku."

Si resepsionis membalas, "Baik, Tuan."

"Terima kasih," ujar Henry sambil berjalan terburu-buru ke arah lift.

Henry telah sampai di depan lift saat aku tersadar dari rasa terkejutku. Aku buru-buru berlari mengikutinya, tapi beberapa petugas keamanan yang berjaga di dekat lift segera mencegahku. Aku menatap mereka frustrasi, sedangkan pintu lift yang akan digunakan oleh Henry mulai terbuka. Ia sudah masuk ke dalam lift dan sedang memencet tombol menuju lantai atas.

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang