26

14.2K 1.7K 93
                                    

Dua minggu kemudian, aku sudah boleh turun dari ranjang. Hanya saja, aku tidak boleh keluar dari rumah sakit sampai beberapa pekan ke depan. Saat mengetahuinya, aku langsung panik.

Bagaimana tidak?

Kamar inapku merupakan kamar VIP. Apalagi, aku dirawat di salah satu rumah sakit swasta terkenal di Seoul. Untuk sehari saja, biaya perawatan di sini bisa kugunakan untuk menyambung hidup sampai berbulan-bulan.

Pagi ini, kuputuskan untuk pindah ke kamar yang lebih murah. Maka dengan susah payah, aku menggerakkan kursi rodaku ke bagian informasi. Di sana, beberapa perawat berbaju putih segera menyambutku ramah.

"Ada yang bisa kami bantu?" tanya salah satu perawat tersebut.

"Maaf, tapi bolehkah saya pindah ke kamar yang lain?" tanyaku. Perawat itu menanyakan siapa namaku.

"Seo Ga Eun," jawabku.

Dia bertanya lagi apakah kamarku yang sekarang tidak nyaman bagiku. Aku menjawab pertanyaannya dengan menggelengkan kepala. Lalu kuputuskan untuk berkata jujur.

"Saya belum boleh pulang sampai beberapa minggu ke depan. Kamar itu terlalu mahal bagi saya," keluhku.

Perawat itu menyuruh rekannya untuk memeriksa layar komputer. "Maaf, Nona. Anda tidak bisa pindah. Itu keputusan dari manajer kami. Sudah ada yang bertanggung jawab atas perawatan Anda. Jadi, Anda tidak perlu memikirkan masalah biaya," ujar perawat tadi.

Aku menatap perawat itu dengan raut wajah terkejut. "Bolehkah saya tahu siapa yang bertanggung jawab?"

"Anda bisa menanyakannya pada wali Anda," balasnya sambil tersenyum.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku kembali ke kamarku. Di sana, sudah ada Jimin yang duduk di pinggir ranjang. Ia tampak lega saat melihatku masuk dari pintu yang terbuka lebar.

"Kau dari mana?" tanyanya cemas.

Aku mendorong kursi rodaku ke arahnya. Jimin segera berdiri untuk membantuku. Ia mengangkat tubuhku dan menggendongku ke atas ranjang.

"Aku bisa sendiri," kataku.

Tapi Jimin tidak mau mendengarkan. Ia menaruhku dengan hati-hati di atas tempat tidur, lalu menyelimutiku dengan selimut yang terlipat rapi di sisi ranjang. Setelah aku terbaring nyaman, ia melipat kursi rodaku dan menaruhnya di sudut ruangan. Kemudian, ia menggeser kursinya dan duduk di dekat ranjangku.

"Kau dari mana?" desaknya.

"Pusat informasi," jawabku singkat.

Jimin mengerutkan dahinya. "Mau apa kau ke sana?"

"Hanya ...."

"Hanya?"

"Aku ingin pindah kamar, tapi mereka tidak mengizinkannya."

Jimin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Apa kau tidak merasa nyaman di sini?"

Aku menggeleng. "Bukan begitu. Kamar ini terlalu mahal."

Lelaki itu tertawa geli.

"Ada yang lucu?" tanyaku heran. "Kau tahu 'kan, aku tidak bisa membayar utangku padamu."

"Utang apa?" tanyanya.

Aku menaikkan sebelah alisku. "Kamar ini. Bukankah kau yang membayarnya?"

"Tentu saja tidak."

Aku menatap Jimin tak mengerti. "Lalu siapa yang membayar biaya rumah sakit?"

"Rumah sakit ini milik keluarga Ken. Kami semua selalu dirawat di sini jika terluka. Ken sudah mengurus semuanya, jadi kau tenang saja."

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang