48

15.9K 1.5K 104
                                    

Warning 21+!!!

"Aku bosan," kata Jimin.

Kualihkan pandanganku dari telepon genggam di tanganku. Saat ini kami sedang berbaring bersisian di ranjang. Lengannya terentang di bawah kepalaku yang kufungsikan sebagai bantal.

"Kau tahu kan aku sedang datang bulan," ujarku.

"Yaaa, kau pikir di benakku hanya ada seks?" balasnya tak terima.

Aku tertawa. Kusingkirkan ponselku, lalu mulai memeluk Jimin. Ia balas mendekapku dalam dadanya.

"Kau ingin melakukan sesuatu?" tanyaku akhirnya.

Jimin melepaskan pelukannya, membuatku bisa menatap wajahnya lagi. Ia menatap ke arah langit-langit, tampak berpikir. Entah kenapa, aku menyukai mimik serius dari wajahnya.

"Ayo ke Namsan Tower," katanya tiba-tiba.

Aku mengerutkan dahi. "Namsan Tower?"

Jimin cemberut. "Kau tidak mau?"

"Bukan begitu. Apa bagusnya sih?"

"Lalu kenapa kau tanya-tanya segala, hah?" sahutnya tak sabar.

Aku tertawa lagi. "Kau semakin tampak imut saat merengek."

Kucubit pipinya, membuatnya jengkel. Jimin menatapku dengan tatapan kubunuh-kau-jika-menyebutku-imut-lagi. Sukses membuatku kembali terbahak.

Lelaki itu menyipitkan matanya. "Tunggu saja sampai kau selesai datang bulan. Akan kubuat kau kesulitan untuk berjalan."

Wajahku langsung panas setelah mendengar perkataannya. Walaupun kami sudah pernah melakukan-nya, tapi aku masih merasa canggung saat membicarakan hal-hal seperti itu. Aku masih harus membiasakan diri dengan dirty talk semacam ini.

Bukannya aku tidak menyukainya. Jimin selalu memperlakukanku dengan lembut. Ia tidak pernah mencoba menyakitiku satu kali pun. Ia bahkan tidak pernah memaksaku meskipun ia sedang mood.

Masalahnya, aku tidak pandai menyembunyikan perasaanku. Pipiku akan berubah merah dalam sekejap hanya karena merasa malu. Itu membuatnya bisa membaca pikiranku hanya dari ekspresi wajahku saja.

"Apa kau sedang membayangkan yang tidak-tidak?" Jimin kembali menggodaku.

"Hentikan," kataku. "Ayo ke Namsan Tower."

Jimin menatap jam di pergelangan tangannya. "Masih siang."

"Kalau begitu, aku akan mandi dulu," kataku sambil bangkit dari ranjang.

Tiba-tiba, Jimin menarikku hingga tubuhku jatuh ke atas dadanya yang bidang. Bola mata miliknya menghitam diselimuti gairah. Aku menelan ludah gugup.

"Bagaimana aku bisa memilikimu? Kau sangat cantik hingga aku tidak bisa melepaskan pandanganku darimu," ujarnya.

Aku memutar bola mataku. "Jangan berbohong. Aku bahkan tidak sebanding dengan wanita-wanita di sekelilingmu."

"Siapa bilang kau sebanding dengan mereka? Tentu saja kau jauh lebih baik daripada mereka semua."

"Oh, lucu sekali."

Jimin memencet hidungku dengan tangannya. "Jangan bicara sarkastik padaku."

"Lepaskan," kataku, suaraku sengau karena ia masih menjepit hidungku.

"Mari olahraga sebentar," balasnya, mengabaikan protesku.

Aku tidak sempat mengatakan apa pun karena Jimin telah melepaskan tangannya dari hidungku dan mulai melumat bibirku. Ia menggigit bibir bawahku, membuat desahan lolos dariku. Hal itu dimanfaatkannya untuk menginvasi mulutku dengan lidahnya.

The Cute Boy I've Met BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang