“Sakit ini, tak bisa kugambarkan.”
....
"Pa..." Viola memanggil pelan Papanya yang duduk di sofa sembari membuka laptop, bersama Mamanya. Ya, mereka sudah kembali pulang kemarin malam, karena ada beberapa urusan disini.
Tak ada sahutan, Viola tau Papanya mendengar tapi tetap tidak direspon, Mamanya juga tidak acuh sama sekali, wanita itu sibuk membalik majalah kesukaannya.
Viola mencoba menarik nafas sabar, dia menoleh pada kedua kakaknya yang menguping dilantai atas, mereka mengacungkan jempol memberikan semangat. Viola lalu mengulanginya, dia menatap Pria paruh baya yang masih terlihat gagahnya itu, Papanya.
"Pa.."
"Hmm?" sahut Papanya tanpa menoleh.
Senyum Viola mulai terbit, ini saat yang tepat untuk menunjukkan pada Papanya tentang prestasi yang sudah diraih dirinya. Viola mendekat membawa sertifikat dan piala pada keduanya.
"Pa! Viola menang lomba kemarin," ucapnya senang menunjukkan kedua benda tersebut.
Tangan Ravi yang awalnya sibuk mengetik di laptop sekarang terhenti, dengan kedua alis yang bertautan dia menoleh pada Viola.
Senyum Viola yang tadinya mengembang, perlahan luntur. Tatapan yang diberikan oleh Papanya, bukanlah tatapan yang diharapkan Viola.
Tatapan itu....
"Hm, baru sekali juara aja udah bangga. Palingan kamu juga nyontek, kalau engga ya pakai jasa orang dalam. Iya kan?" lagi-lagi, kenapa ucapan dan tatapan Ravi selalu mengoyak hatinya?
"Eng..enggak Pa! Ini hasil pikiran Viola sendiri kok! Viola ga nyontek, apalagi makai orang dalam. Viola jujur Pa!"
"Alaah!! Pikiran apanya? emang otak kamu bisa berisi dalam semalaman hah? kamu pikir saya bodoh bisa kamu tipu?! Ck, ganggu waktu saya saja kamu. Sana pergi!"
Ravi kembali pada laptopnya dan tidak peduli pada Viola yang berdiri disampingnya dengan gemetar.
Tesa sedari tadi hanya menyimak, dia tidak berani membantah ucapan suaminya. Tidak akan berani!
"Wahh hebat ya Adeknya Abang, dapet juara satu!" Rega turun bersama Raka guna mencairkan suasana.
"Iya nih, ko ga bilang kita dulu sih?" sambung Raka berpura-pura. Sebenarnya ini memang ide mereka bertiga, tapi reaksi Ravi malah diluar dugaan.
Memang benar, realita tidak akan semanis ekspetasi.
Viola tadi membayangkan akan dipeluk dan dicium oleh Papanya karena bisa membanggakan beliau. Tapi apa?! yang didapatnya tidak lebih dari rasa sakit yang terus menusuk lebih dalam.
"Gimana kalo kita makan-makan enak hari ini? buat rayain kemenangan adek kita. Gimana Bang? Pa? Ma?" Rega mengusulkan pendapat sembari mendekat dan memeluk lengan Viola.
"Bole---"
"Ga ada perayaan-perayaan segala! Apaan sih kalian berdua? ga liat Papa Mama lagi sibuk?!" Ravi langsung memotong ucapan Tesa yang tadinya ingin ikut serta.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLA [SELESAI]
Teen Fiction"𝓑𝓮𝓻𝓪𝔀𝓪𝓵 𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓪𝓼𝓲𝓷𝓰, 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓴𝓱𝓲𝓻 𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓭𝓲 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓻𝓽𝓲." Baru kisaran tiga bulan cewek satu ini pindah ke sekolah baru, tapi sudah membuat namanya kesohor ke seantero sekolah karena prestasi yang dibuatnya. Ya, prestasi...