Bagian 61

1.1K 61 2
                                    

"Kau menyia-nyiakan terlalu banyak waktu. Kau enggan untuk sadar, walau kebenaran sudah ada didepan matamu sendiri."

*****

Prangg!!

Bugh!!

Satu per satu remaja-remaja itu mulai tumbang, entah karena sayatan senjata tajam maupun pukulan keras. Baju putih abu-abu yang mereka kenakan sudah lusuh dan bernoda darah.

Dapat dilihat, walaupun kedua belah pihak tidak ada yang ingin mengalah, namun Dixon lebih unggul sekarang. Pasukan Dharmabangsa sudah banyak tumbang dan terpaksa di pukul mundur.

Bendera hitam milik Dixon, dan bendera berlogokan SMA Harapan Jaya masih berkibar dengan kokoh.

Satria mengelap keringat yang bercucuran dari pelipisnya dengan cepat, terlihat cowok itu menggeram akan situasi yang sedang ia hadapi. Gevan tidak memberikannya celah sedikitpun untuknya berhenti barang sejenak.

Jika ia berhenti, dapat dipastikan kalau celurit itu akan menggores permukaan kulitnya.

"Sialan!" Satria mengumpat kesal.

Gevan menyeringai semakin lebar, bahkan luka di sudut bibirnya seolah tidak berarti sama-sekali.

"Udah deh, Sat! Mending lo nyerah daripada malu sama adik kelas lo," Gevan menertawakannya dengan remeh.

Tiiiittttt!!!

Suara klakson mobil yang keras membuat mereka semua dengan kompak menoleh. Seorang remaja dari Dharmabangsa berlari dengan kencang ke arah Satria dan Gevan dengan tongkat baseball ditangannya.

Gevan mengambil posisi bersiaga, dalam sekejap dia langsung berganti lawan.

"Bang! Gue udah panggil bantuan! Mending lo minta yang lain buat mundur, sebentar lagi mereka sampai." Seru cowok itu tanpa menoleh pada Satria.

Hal itu tentu membuat Satria mengembangkan senyuman licik miliknya. "Lo emang bisa gue percaya, Deric."

Cowok yang dipanggil Deric itu seolah merasakan dorongan dalam dirinya, bahkan Gevan sekarang dibuat mundur oleh remaja itu.

"Gue bakal kalahin kalian, Dixon sialan!" Umpat Deric penuh dengan ujaran kebencian.

"Minggir Bang, biar gue yang urus dia!" Adelio menghampiri, mengambil alih posisi Gevan dan berhadapan dengan Deric.

Mata milik Gevan melirik ke segala arah. Banyak anak Dharmabangsa yang sudah mundur, yang tersisa bahkan tidak lebih dari dua puluh orang.

Aneh, perasaannya terasa tidak tenang walau tahu sekarang mereka sedang unggul dari lawan.

"Kenapa, ya?"

Aska mendekat, wajah datar milik sang mantan ketua osis itu sekarang berganti dengan ekspresi yang terlihat panik dan juga khawatir. Cowok itu segera mendekat pada Gevan.

"Ada apa, Ka?"

"Kita ..., dalam masalah, Gevan."

Aska berucap pelan, menoleh pelan pada Gevan lalu kembali memalingkan wajah, dan memandang suatu arah. Gevan mengikuti arah pandang cowok itu, bola matanya melebar. Dahinya berkedut dengan tangan yang kembali mengepal erat.

Satria tersenyum, yang ia tunggu sudah datang rupanya. Bantuan sangat yang diharapkannya.

Lihat saja, walaupun itu hanya sekitar tiga puluh orang orang, masalahnya mereka bukanlah pelajar Dharmabangsa. Melainkan para pria berpakaian serba hitam dengan badan besar.

VIOLA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang