“Jangan memaksakan diri, jika batinmu sudah tersiksa setidaknya jangan siksa juga tubuhmu.”
"Hai Mon. Kaget ya, gue malah datang ke sini bukannya dibawa Papa gue?" Viola bertanya dengan nada riangnya, berbeda dengan reaksi Monic yang semakin bergetar. "Tapi sayang. Kayaknya, informasi yang lo kasih ke Papa gue itu sia-sia, hehe."
Terdiam, semuanya mencoba mencerna perkataan Viola. Dipikir berapa kali pun, hasil akhir nya tetap saja sama. Monic ....
"Ma-maksud lo apa ya ... Vi?" tanya Miki heran, dia bingung, ada apa dengan dua sahabatnya ini.
"Vi? Mon?" lanjut Rayden bersuara. Menatap berganti dua cewek yang sedang berhadapan itu.
Menghiraukan mereka, Viola semakin mengembangkan senyumnya dan berujar lagi pada ‘sahabatnya’ itu. "Itu lo, 'kan?"
Deg!
Sesak, pasokan oksigen di sekitarnya seakan menipis. Jantung Monic berdebar kencang seakan bisa meledak kapan saja. Bukan, bukan berdebar karena merasakan jatuh hati.
Menundukkan kepalanya, cewek itu tak tau harus menjawab apa, selain ..., "Maaf, Vi."
Mendengar dua kata itu, senyum riang Viola perlahan berganti dengan senyuman tipis, senyum yang memuat kekecewaan dan rasa sakit.
Cewek itu mendekat, menepuk pundak Monic dua kali dan berucap, "Makasih udah jujur sama gue."
"Maaf ...," lirih Monic pelan
"Mau duduk dulu?"
Semuanya duduk di ruang tengah, sambil terus mendengar cerita Monic.
Saat itu, ketika mereka mendatangi rumah Viola tapi malah di usir. Ketika hendak pulang, Monic menoleh kebelakang dan matanya bertemu dengan manik hitam legam milik Rafi, ayah sahabatnya. Senyuman tipis itu membuat bulu kuduk Monic berdiri.
Sesampai di rumah, cewek itu merebahkan dirinya di kasur sembari menatap langit-langit kamar dengan rasa cemas. Sangat khawatir dengan sahabatnya itu, apa dia baik-baik saja? Itu yang selalu dipertanyakan Monic di otaknya.
Handphone-nya berdering, dengan malas tangan lentik itu meraih benda pipih tersebut dan melihatnya. Dahinya berkerut ketika ada nomor tidak dikenal yang menghubunginya. Cukup lama Monic hanya memandang layar itu tanpa mengangkat panggilannya.
Menit berikutnya, telepon rumah berbunyi di lantai bawah. Sepertinya tak ada yang mengangkat benda itu membuat Monic harus beranjak turun dari kasurnya.
"Halo? Siapa ya?"
"Kamu pasti tau saya siapa kan?" Suara berat dan serak itu menghunuskan ke Indra pendengaran Monic. Dia tau betul suara tersebut.
"Ma-maaf! Saya ga kenal, permis—"
"Kalau kamu tutup, jangan harap bisa bertemu lagi dengan Viola."
"... apa?" Dibalik panggilannya, Rafi tersenyum miring mendengar suara Monic.
"Saya akan mengasingkan Viola ke luar negeri."
"Apa kamu ... ingin tidak melihatnya lagi, huh?"
Monic yang sepertinya paham dengan maksud tertentu lawan bicaranya menjawab, "Apa mau Om?"
Begitulah, Monic terus mengikuti apa yang dikatakan oleh Rafi karena tidak ingin Viola di bawa tanpa dia ketahui. Melaporkan apa saja yang dilakukan oleh anak-anak Dixon, membujuk mereka agar tidak bergerak, dan juga banyak lainnya selama beberapa hari ini. Rafi mengancamnya, dia harus apa? Bodoh? Dia akui itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLA [SELESAI]
Teen Fiction"𝓑𝓮𝓻𝓪𝔀𝓪𝓵 𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓪𝓼𝓲𝓷𝓰, 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓴𝓱𝓲𝓻 𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓭𝓲 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓻𝓽𝓲." Baru kisaran tiga bulan cewek satu ini pindah ke sekolah baru, tapi sudah membuat namanya kesohor ke seantero sekolah karena prestasi yang dibuatnya. Ya, prestasi...