"Memangnya kau sehebat apa, sampai berani menentang Tuhan?"
*****
"Gimana, Dok? Temen kita kenapa?" tanya Gevan pada dokter yang baru saja mengizinkan mereka masuk.
Dokter itu tidak menjawab, dari wajahnya tampak sekali kegelisahan yang tersimpan di sana.
"Dokter! Jawab gue! Viola kenapa hah?! Lo mau gue hajar dulu baru ngomong?! Iya?" Seketika Gevan naik pitam, cowok itu memang pada dasarnya sulit mengendalikan emosi. Apalagi di saat-saat seperti ini.
"Gevan, sabar bentar kek. Lo jangan ngamuk-ngamuk, di usir kita ntar." Yusuf mengingatkan, dialah yang ditunjuk oleh teman-temannya untuk menemani Gevan ke sini.
Tujuannya hanya satu, karena sepertinya hanya Yusuf yang bisa mendadak tenang dan berpikiran dewasa disaat-saat genting. Dan itu terbukti.
"Begini. Ini bukan masalah kecil. Saya harus melaporkannya pada orang tua atau keluarga pasien dulu." Ujar dokter itu membuat mereka merasa semakin cemas.
"Kasih tau aja, Dok! Kita juga keluarganya, kok." Bujuk Yusuf yang akhirnya diangguki oleh dokter.
"Begini." Entah memang sengaja menjeda atau apa, dokter itu justru membuat Gevan ingin menelannya bulat-bulat sekarang. Tidak tahukah dirinya, bahwa Gevan sudah sangat sulit menahan emosinya?
"Dia ..., mengidap Leukimia." Dokter itu menghela napas panjang.
"Lebih tepatnya, Leukemia Limfositik Kronis, stadium 3."
Deg!
Siapa yang tidak akan terkejut mendengar fakta tersebut? Bahkan Aska yang tadi masih memegang gagang pintu, kini masuk dengan cepat tanpa salam sedikitpun.
"Kanker darah?! Jangan becanda lo! Apa-apaan stadium tiga, hah?!" seru cowok itu menatap dokter tajam, mencekam erat seragam putih milik pria itu.
"Maaf, tapi saya tidak akan bermain-main dengan nyawa orang lain." Jawab dokter dengan nada tenang, ia menepis tangan Aska dan merapikan kembali jasnya.
"Pasien memiliki terlalu banyak limfosit dalam darah dan sel darah merah yang terlalu sedikit. Pasien juga mengalami pembengkakan kelenjar getah bening, serta pembesaran limpa dan hati. Bahkan, terdeteksi beberapa penyakit lain di tubuh pasien."
"Saya permisi sebentar, kami akan menghubungi keluarga pasien. Bisa tolong bantu kami?" Dokter itu menatap pada Yusuf. Membuat cowok itu kembali pada kesadarannya.
"Ah, i-iya, Dok." Kemudian dirinya ikut keluar meski dengan berat hati.
Bugh!
"Akhh!! Sialan!" Maki Aska pada dirinya sendiri, memukul tembok sebagai pelampiasan. Dia tidak berhenti, masih terus memukuli tembok putih tersebut.
"Gak ..., gue pasti lagi mimpi nih. Orang tadi gue lagi main kejar-kejaran sama si Cicak Amazon." Gevan menggeleng, berusaha tetap tersenyum dan menampar pipinya sendiri yang semakin lama semakin keras.
Plak
Plak
Plak
"BANGSAT! BANGUNIN GUE DARI MIMPI INI!" Teriak cowok itu frustasi. Kedua pipinya bahkan sudah memerah akibat ulahnya sendiri.
Secara kompak, mereka berhenti melakukannya kegiatannya masing-masing. Mereka baru menyadari, bahwa ini adalah keberadaan yang tidak bisa diubah.
Kedua cowok itu menatap satu sama lain, lalu menoleh pada seseorang yang sedang berbaring di atas brankar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLA [SELESAI]
Teen Fiction"𝓑𝓮𝓻𝓪𝔀𝓪𝓵 𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓪𝓼𝓲𝓷𝓰, 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓴𝓱𝓲𝓻 𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓭𝓲 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓻𝓽𝓲." Baru kisaran tiga bulan cewek satu ini pindah ke sekolah baru, tapi sudah membuat namanya kesohor ke seantero sekolah karena prestasi yang dibuatnya. Ya, prestasi...