Bagian 34

1.1K 78 17
                                    

Tandain typo.

__________________________

“Jangan bawa perasaan, nanti sakit.”

*****

"Lo bener ga mau jual gue kan?" celoteh Viola curiga pada Aska yang duduk disampingnya, fokus mengemudi.

"Gak." Baguslah, setidaknya Viola bisa menghela napas lega walau sebentar.

Cewek itu beralih menatap kaca mobil yang perlahan dibasahi oleh rintikan semesta. Sedikit demi sedikit, rintikan kecil itu mulai banyak dan deras sehingga membasahi permukaan bumi.

Sadar akan sesuatu, Viola berbalik menoleh pada Aska. "Heh, ini bukan jalan ke rumah gue."

"Jalan yang biasa macet."

Terdengar masuk akal tapi entah kenapa Viola tetap merasa curiga pada cowok disampingnya ini. "Kalau gue ga nyampe rumah, rumah lo gue bakar."

Hanya suara hujan yang terdengar, keduanya sibuk sendiri, ah tidak. Lebih tepatnya memang tidak tahu harus berbicara apa.

Suara berat dan serak memasuki Indra pendengaran Viola ketika dia sibuk menghitung jumlah rintik hujan yang turun.

"Laper?" Ya, memang cuma satu kata.

"Gak laper gue." Jawabnya tanpa menoleh.

"Lo...."

Viola menoleh heran dengan satu alis terangkat. "Gue apa?"

Aska memalingkan wajahnya, "Gak, ga jadi."

"Aneh lu batu antartika."

"Lo mau masuk universitas mana?"

Oh jadi nanya itu doang, tumben. Batin Viola berucap.

"Gak tau," jawabnya mengangkat bahu acuh, Aska menoleh dengan satu alis terangkat, heran.

"Lo ga mau lanjut sekolah?"

"Ya mau lah, yakali enggak, bego banget gue." Viola menarik napas sejenak, lalu tersenyum ringan dengan tatapan lurus kedepan.

"Kan udah pernah gue bilang, gue sekarang cuma pengen lulus SMA dengan nilai yang bagus." Biar Bunda bangga . Lanjutnya dalam hati.

Senyumnya luntur dan kaget disaat bersamaan ketika kepalanya sudah di tempeli oleh tangan Aska, mengacak-acak rambutnya pelan.

"Makanya belajar yang bener," ujar cowok itu tersenyum tipis pada Viola.

Sadar akan tindakannya, Aska segera menarik kembali tangannya dan meluruskan pandangan kedepan, mencoba menormalkan kembali ekspresinya. "Sorry."

Viola menatap aneh, sangat aneh. Lebih aneh lagi ketika dia tidak tahu kenapa jantungnya berdegup kencang hingga sekarang.

Tanpa sadar, keduanya menoleh pada arah berlawanan dengan percikan warna merah dimasing-masing pipi. Bahkan telinga keduanya ikut memerah.

Perjalanan tidak berlangsung lama. Mendekati pekarangan rumah besar itu, Viola membuka kaca dan meminta pada penjaga rumahnya untuk membukakan pagar.

Hujan masih belum reda hingga saat ini, bahkan menjadi semakin deras dengan angin yang tampaknya semakin ribut.

"Makasih." Viola hendak membuka pintu, namun itu masih terkunci membuatnya kembali menoleh meminta penjelasan pada si empu.

"Tunggu," Aska berbalik badan menghadap ke kursi belakang, menarik sesuatu lalu turun dari mobil.

VIOLA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang