Bagian 49

1.5K 86 9
                                        

"Memang cuma kenangan yang tersisa, tapi mengingatnya justru menyakitkan."

*****

Bendera kuning berkibar di sudut pagar kediaman Adiyatama, para sanak saudara berkumpul dan berkabung atas perginya putra tunggal penerus keluarga itu.

Tapi lihat saja, bahkan ada yang tidak tahu diri diantara mereka. Orang-orang itu malah membahas bagaimana harta keluarga akan diteruskan, saling berdebat dan merasa paling benar, merasa paling layak. Tak ada yang benar-benar berkabung di sini. Terkecuali nenek kakek Adiyatama.

Bahkan dua suami-istri itu menuntut kepada pihak kepolisian untuk menangkap pelaku. Cucu kesayangan mereka tiada, siapa yang akan ikhlas?

Semua sahabat, teman sekelas, serta guru ikut datang berbelasungkawa. Kajian ayat-ayat suci menggema dipenjuru rumah. Tangisan dan air mata terus meluncur tanpa henti.

Bahkan, ketika jenazah sudah dimasukkan ke liang kubur dan ditimpuk tanah, rasa sesak tak kunjung berhenti.

Semuanya terlalu mendadak untuk mereka, bukannya tak ingin ikhlas. Tapi memang sulit untuk dilakukan.

Monic dan Miki menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu dari keranjang yang mereka bawa. Kakek dan nenek Fikri sudah pamit untuk kembali ke kediaman. Tinggallah mereka di sana, ber-sepuluh. Ah, ralat mungkin tinggal sembilan karena yang satunya sudah ada di tempat yang berbeda.

Viola sedari tadi hanya diam, tatapannya kosong dan nanar. Rasa bersalah tampak menyelimutinya. Ketika diajak berbicara oleh Raka dan Rega, bahkan ketika mengajaknya kembali untuk beristirahat pulang, cewek itu hanya diam dan menjauh guna menyendiri.

Ingatannya terus-menerus memutar kejadian ketika Fikri ditebas parang runcing itu, demi dirinya. Senyum dan suara yang selalu menghiburnya dulu, kini menghilang dan tidak akan pernah kembali.

Rayden yang duduk di samping gundukan tanah itu, mengelus pelan papan nama yang bertuliskan nama sahabatnya. "Lo ninggalin gue," gumamnya pelan. Perih, hati siapapun akan terkikis ketika melihatnya. Wajah tersenyum dan suara-suara Fikri terngiang-ngiang dalam benaknya saat ini.

"Bebas ...,"

"Ya..., bebas. Bebas pergi ke mana pun, tanpa terikat oleh sesuatu."

Air mata Rayden turun, sekarang dia paham apa yang dikatakan oleh Fikri saat itu. Dengan berat hati, ia menepuk pelan papan nisan itu. "Yang tenang lo di sana."

Yusuf ikut duduk lalu menatap makam itu dengan mata sembabnya, cowok kocak itu sejak kemarin sudah seperti akan gila. Bahkan, ia masih melemparkan lelucon aneh pada sahabatnya yang sudah berbeda alam itu.

"Lo gini amat sih Ky, padahal kemarin gue mau balas traktiran lo yang waktu itu. Tapi lo malah milih pergi ama Bang Ijroil." Yusuf tertawa sendiri. Meski air matanya juga tak berhenti mengalir.

Fino menepuk pundak kedua sahabatnya itu, "balik, yuk. Biarin Pingky kita tidur nyenyak."

Kaki-kaki itu melangkah dengan berat, pergi menjauh dari tempat tidur abadi sahabat mereka.

Gevan tidak beranjak dari pijakannya, masih berdiri tegap di sana dengan kedua tangan yang terkepal semakin erat.

Melihatnya, Viola mendekat dua langkah. "Gevan." Panggilnya serak. Namun cowok itu tidak menoleh maupun menyahutinya.

VIOLA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang