“Jangan terlalu percaya, menaruh harapan pada manusia hanyalah cara mudah untuk menyakiti diri sendiri.”
*****
Rafi dan Tesa masuk ke ruangan besar di kediaman mereka. Kosong. Bahkan para karyawan sudah kembali ke rumahnya masing-masing atau tidur di kamar yang sudah di sediakan. Langkah kaki mereka menggema sampai ke ujung ruangan. Ditemani lampu redup di sudut rumah, keduanya tampak berjalan menuju ruang kantor si kepala keluarga.
Pria itu melonggarkan dasi dan membuka laptopnya, sedangkan wanita tadi duduk tenang di sofa, lalu menyeduh teh yang ada di atas meja.
Hening beberapa saat, hingga pintu diketuk. Setelah mempersilahkan masuk, tampak satu orang dari beberapa anak buahnya tadi melangkah ke dalam. Menunduk hormat lalu berkata, "Kemana kami harus mencari nona dan tuan muda lagi, Tuan?"
"Biarkan saja." Jawab Rafi datar tanpa menoleh. Kemudian ia melanjutkan ucapannya. "Membuang waktu jika harus bermain dengan anak-anak itu. Lebih baik kalian pantau perusahaan yang sudah ku tandai. Laporan semuanya. Kita lebih harus mendorong naik lagi nama perusahaan kita yang sempat merosot."
"Baik, Tuan." Lalu orang itu undur diri, dan keluar dari sana menyisakan sepasang suami-istri yang hanya berdiam diri.
Suara jam berdetak, mengisi kesunyian yang ada di sana. Tak lama, suara kursi yang berderit karena bergesekan dengan lantai terdengar. Rafi berjalan keluar dengan tenang.
Melihatnya, Tesa membuang wajah. Bahkan laki-laki itu tidak memandangnya sekalipun. Tidak sama sekali meski mereka sudah cukup lama menjalin hubungan suami-istri.
Hatinya sakit. Oh ayolah, siapa yang tahan diacuhkan oleh orang yang setiap hari harus bertemu dengannya? Tesa pun seorang wanita yang ingin berkehidupan bahagia dengan keluarga kecilnya. Setelah sekian lama, hatinya masih saja tidak terbiasa dengan perbuatan ‘suaminya’ itu.
"Kenapa hal seperti ini malah terjadi kepada ku, Nia ...?" gumamnya menggigit bibirnya sendiri. "Apa kamu tidak ikhlas, orang yang kamu cintai menjadi milikku, heh?"
Sementara Rafi, ia berjalan menaiki tangga. Kakinya terus melangkah, hingga langkah tegap itu berhenti di sebuah pintu kamar paling ujung.
Memandangnya cukup lama dengan perasaan yang berkecamuk. Kemudian dia merogoh saku dan mengambil kunci guna membuka pintu itu. Ketika dibuka, matanya menelisik setiap bagian yang ada di dalam kamar.
Menutup pintu dan menghidupkan pencahayaan. Matanya yang datar menjadi sendu ketika melihat sebuah bingkai foto, foto dua orang perempuan yang tersenyum lebar pada kamera.
Tangannya meraih benda tersebut, membawanya pada pelukan dan merebahkan diri pada kasur lama diatas ranjang.
Sesak. Sakit. Kecewa. Dan ketidak ikhlasan menyelimuti dirinya.
"Vania ...," gumamnya pelan dengan nadanya pilu.
"Aku ... rindu."
"Aku selalu merindukanmu, selalu, setiap saat, setiap detiknya selama hidupku."
Bohong jika ia tidak rindu dengan sosok wanita yang dicintainya. Meski sudah ditinggal cukup lama, tidak ada yang tahu apa perasaan pria itu jauh di lubuk hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLA [SELESAI]
Fiksi Remaja"𝓑𝓮𝓻𝓪𝔀𝓪𝓵 𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓪𝓼𝓲𝓷𝓰, 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓴𝓱𝓲𝓻 𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓭𝓲 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓻𝓽𝓲." Baru kisaran tiga bulan cewek satu ini pindah ke sekolah baru, tapi sudah membuat namanya kesohor ke seantero sekolah karena prestasi yang dibuatnya. Ya, prestasi...