“Ucapan konyol seorang teman, suatu saat nanti kau akan mengerti apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan.”*****
"Tolong, lindungi sekolah kita." Ucap Wakil Kepala Sekolah dengan nada jelas dan tatapan yakinnya.
Hening beberapa saat hingga seperkian detik berikutnya, tawa para remaja itu pecah.
"Hah? Apaan apaan?? Lindungin? Bahaha."
"Emang sejak kapan ni sekolah harus dilindungin? Bikin ngakak aja si Bapak."
"Kasih tameng sana Pak, sekalian sewa bodyguard."
Wajahnya langsung memerah padam, antara malu dan marah sudah bercampur di sana. Beliau Wakil Kepala Sekolah yang menggantikan peranan Kepala Sekolah untuk sementara waktu. Ya, setidaknya sampai akhir semester ini. Bagaimanapun, posisi Kepala Sekolah tak bisa dianggap remeh.
"Maaf, saya mewakili mantan Kepala Sekolah yang dulu sempat merendahkan kalian. Bagaimanapun, saya paham perasaan kalian," senyum samar terlihat dari bibirnya.
Kumpulan remaja sengklek itu menatap sang WaKaSek, guru sejarah yang tidak terlalu terkenal di kalangan siswa, apalagi anak IPA. Ya, hanya guru biasa sebelum akhirnya dipercaya naik jabatan menjadi Wakil oleh guru-guru senior, menggantikan Wakil Kepala Sekolah yang ternyata ikut terlibat dalam kasus Kepala Sekolah saat itu.
Mereka saling menatap seolah-olah sedang berdiskusi tanpa suara.
"Gimana ...?" ungkap Fino.
"Gevan? Vi? Aska?" tanya Fikri menatap satu-persatu wajah temannya. Sepertinya dirinya tau ini akan bersangkutan dengan keputusan tiga orang itu.
"Hadeh ...," Viola menghela napas panjang, berjalan pelan dengan tangan disaku jaket hitam yang dikenakannya menuju arah berlawanan.
Semuanya tersenyum tipis, paham dengan cara cewek itu. Sementara WaKaSek menatap heran, kenapa bocah tengil itu malah pergi begitu saja?
"Itu artinya dia setuju Pak." Ucap Fikri menerjemahkan.
"Dasar anak zaman sekarang, banyak banget kode sama gayanya." Heran WaKaSek menggeleng pelan tapi tetap menyusul dibelakang.
Tiba dilantai dua, melihat Viola yang berhenti menatap kebawah, semuanya mengikuti.
"Liat apaan lo?" tanya Danil.
"Banyak juga," gumam Viola seolah memperhatikan sudut-sudut TKP.
"Tenang, anak-anak yang lain udah gue kasih tau, ya, walau ga semua sih." Sahut Fino santai menopang diri pada pembatas, Gevan mengangguk setuju karena dirinya juga sudah menurunkan perintah pada pasukannya.
Senyum Viola mengembang, dia memanjat pada tembok pembatas dilantai dua, lalu melompat turun dari sana dengan bebas. Tentu itu mengejutkan semuanya.
"Violaa!!!"
"Woi! Tu anak emang ye, gue aduin mak gue tau rasa." Ucap Gevan ikut turun, menyusul Viola yang sudah membuka jaketnya, lalu diikatkan ke pinggang serta mengeratkan ikatan rambutnya yang mulai berantakan diterpa angin.
"Bro, kaki lo aman?" sahut cewek itu meski matanya sudah awas ke sekeliling.
"Kagak sih, rasanya mau retak tulang gue." Curah Gevan dengan posisi yang sama.
Tak lama, satu-persatu musuh mulai menyerang mereka. Bermodalkan tangan kosong dan hati lapang karena ujian udah kelar, mereka membalas sembari bersenang-senang.
Duk!
Viola saling menghantamkan dua kepala botak milik lawannya, hingga pingsan dan terkapar ditanah. "Tidur dulu sana, Om."

KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLA [SELESAI]
Fiksi Remaja"𝓑𝓮𝓻𝓪𝔀𝓪𝓵 𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓪𝓼𝓲𝓷𝓰, 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓴𝓱𝓲𝓻 𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓭𝓲 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓻𝓽𝓲." Baru kisaran tiga bulan cewek satu ini pindah ke sekolah baru, tapi sudah membuat namanya kesohor ke seantero sekolah karena prestasi yang dibuatnya. Ya, prestasi...