Bagian 17

1.4K 137 134
                                    


“Yang kuinginkan cuma satu, rumah. Rumah sebagai tempat diriku mengadu, dan mencurahkan segala isi hatiku.”

VIOLA RIFARSYA—
....
.
.
.

10 Tahun Yang Lalu.......

"Bunda....kenapa ayah ga main sama Viola?" tanya lugu seorang anak kecil berusia kisaran 6 tahun, dengan rambut yang sedang disisir oleh Ibunya.

Ibunya itu tersenyum lembut, tangannya masih menyisir rambut anaknya sayang.

"Ayah kan sibuk, sayang..." jawabnya dengan suara lembut. Seketika Viola kecil cemberut, dia tampak menggemaskan.

"Sibuk terus, kapan mainnya sama Viola. Abang Raka sama Bang Rega aja masih main sama Ayah, kok aku enggak.."

Ibu kandung Viola– Bunda Vania itu langsung menarik anaknya untuk dipeluk.

"Kamu jangan ngomong gitu.. Abang kamu itu kan cowok---"

"Emang harus jadi cowo dulu baru bisa main sama Ayah?"

"Engga gitu sayang,"

"Terus kenapa Bunda... Dari dulu Ayah ga pernah peluk aku, ga pernah dicium. Kata Bunda tuan putri kan disayang sama semua orang, kenapa aku engga? aku bukan tuan putri-nya Ayah ya?"

"Shutt...jangan ngomong gitu, kamu itu Putrinya disini. Putrinya Bunda, Putrinya Ayah, Abang Raka, Bang Rega, Kakek, Nenek--"

"Ya terus kenapa aku ga disayang sama Ayah?!"

Terdengar helaan napas dari Vania. Pertanyaan Putri sulungnya ini tidak ada habis-habisnya. Tapi tetap saja mengarah pada satu objek–

Ayahnya!

Vania memegang kedua pipi Viola yang menggemaskan itu untuk berhadapan dengan wajahnya.

"Denger ya, cantiknya Bunda yang cuma satu-satunya didunia."

Anak itu diam, memperhatikan Bundanya dengan kedua pipi menggembung dan bibir kecut.

"Kamu nanti juga bakalan ngerti kok. Ayah kamu itu adalah ayah terbaaaaaikk didunia! Nanti ayah bakal peluk kamu, terus cium kedua pipi kamu. Nanti ayah juga bilang gini.." Vania menjeda sebentar lalu menirukan seseorang.

"Viola anak pinter, kesayangan Ayah. Tuan Putri-nya Ayah, selamanya~"

Viola kecil lantas memeluk erat Vania dengan senyum lebar, matanya sampai menyipit.

"Bunda ga boong kan? Boong nanti diazab loh."

"Enggak, Bunda ga boong kok. Kamu tunggu aja ya, sayangnya Bunda."

"Aku sayang Bundaa~"

"Bunda lebih sayaaaanggg sama Viola."

"Tapi Viola sayangnya lebih gede dari sayangnya Bunda,"

"Segede apa?"

"Segede iniiiii." Viola merentangkan kedua tangannya.

"Ahahahahah...anak Bunda emang paling pinter,"

Siapa yang tau, takdir sungguh menguji anak kecil itu. Beberapa bulan setelahnya, Vania terbaring dirumah sakit.

"Bunda ayo bangun...kita main lagi. Nanti Viola main sama siapa kalau ga ada Bunda..hiks..hiks."

"Sayang...jangan ngomong gitu. Bunda ga akan kemana-mana kok,"

"Bunda ga boong kan? Viola takut,"

"Iya Bunda bakal terus sama cantiknya Bunda, kamu jangan takut. Inget, kalo Bunda selalu ada disini," Vania menunjuk pada dada Viola.

"Dibaju?" Viola menggerjab polos membuat Vania terkekeh.

VIOLA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang