Bagian 38

990 72 5
                                    

“Kadang tidak tau itu lebih baik.”

*****

"Non Vania ... ?"

Mendengarnya Viola tersentak kaget. Mengerjab beberapa kali hingga sadar kembali ketika wanita tua itu sudah memeluknya erat.

"Ya Allah, Non. Ternyata Non masih hidup, Bibi tau kabar itu pasti cuma bohongan buat nipu Bibi. Maafin Bibi karna ninggalin Non waktu itu ..., maafin Bibi ... maaf. Hiks," wanita tua itu berucap serak menahan tangis, dapat Viola rasakan bahunya mulai basah.

Satu tangannya terangkat dengan ragu, mengelus pelan pundak yang bergetar wanita itu. Hening beberapa saat hingga bibirnya terangkat dan berucap pelan. "Saya Viola, Nek. Bukan Vania."

Wanita tua itu mengurai pelukan mereka, menatap dalam mata Viola dengan pelupuk mata yang berair.

"T-tapi ..., kenapa—"

"Mungkin yang Nenek maksud itu, Bunda saya. Beliau emang sudah wafat sejak lama," cewek itu meluruskan, diakhiri dengan tersenyum manis hingga matanya menyipit. Senyum yang berbanding terbalik dengan hatinya yang perih.

"... anaknya?" Viola mengangguk membenarkan. Menyeka wajahnya pelan, lalu beliau berucap lagi.

"Maaf ya, nenek kira kamu Non Vania. Soalnya, miriiipp banget. Tapi ternyata—ah, maaf lagi. Pasti kamu sedih gara-gara nenek ngingetin lagi sama Bunda kamu."

"Gapapa kok, Nek."

"Oiya, Nenek kok bisa kenal sama Bundanya Viola? Kayaknya Viola ga pernah ketemu sama Nenek." Ucap cewek itu bertanya, memang, jika berhadapan dengan orang seperti ini jiwa muda yang sopan satun dan penuh bakti dalam diri Viola akan keluar dengan sendirinya.

Wanita tua itu tersenyum hangat, "Nenek dulu pengasuhnya Bunda kamu. Dari dia kecil sampai dia menikah."

Kepala Viola mengangguk-angguk tanda paham, tapi ucapan selanjutnya yang keluar dari mulut wanita itu membuat alisnya menukik tanpa sadar.

"Tapi kayaknya, banyak hal buruk yang terjadi pas Nenek udah ga kerja lagi sama Bunda kamu. Bahkan Nenek gak tau kapan Bunda kamu berpulang. Andai dulu Nenek disampingnya, atau gak pernah biarin ibumu menikah sama laki-laki itu."

"Emangnya, ada apa Nek?" tanya Viola ragu-ragu, antara penasaran dan takut akan kebenaran yang justru semakin mengoyak hatinya.

Dia tersenyum, menggenggam tangan Viola hangat. "Kita ke rumah nenek aja ya, dingin di sini."

•  •  •

Rumah sederhana tapi hangat, itulah yang dirasakan Viola ketika masuk ke kediaman wanita tadi, mantan pengasuh bundanya. Meski tidak sebesar rumahnya, tapi ini bisa dibilang adalah rumah impian Viola. Rumah hangat yang dikelilingi kebahagiaan.

Ya, mungkin itu akan tetap menjadi impian.

Meletakkan secangkir teh hangat dimeja kecil, wanita itu—Irda, berucap. "Silahkan diminum dulu tehnya, Non. Keburu dingin."

"Jangan manggil Non dong, Nek. Viola aja, hehe. Makasih tehnya." Jawab Viola lalu menyeruput nikmat teh itu, hingga tak sadar Irda menatapnya lekat dengan  sendu.

"Kamu mirip banget ya, sama Non Vania."

Viola menatap penasaran, dan bertanya, "emang Bunda waktu muda kayak gimana, Nek?" Mendengarnya, Irda menyandarkan diri di sandaran kursi, menerawang ke masa lalu.

"Non Vania itu, beda sama anak perempuan lain. Kalau anak perempuan lain diam di rumah sama bonekanya, dia malah kabur dari rumah buat main ke sungai. Sampai pulangnya dalam keadaan kotor seluruh badannya. Dia ga takut kalau di marahi, kalau salah dia minta maaf dan kalau disalahin dia ga terima dan balik melawan. Sampai menginjak usia remaja pun dia masih begitu. Temennya rata-rata anak cowok semua, anak-anak cewek justru malah takut main sama dia. Pas udah SMA, Non Vania mulai berubah, walau cuma sedikit. Mulai terlihat sisi wanitanya, waktu itu kami semua langsung mikir kalau Non Vania lagi naksir sama orang. Dan benar, dia lagi jatuh cinta."

"Sama Papa ya?" potong Viola karena penasaran. Dengan cepat Irda menggeleng guna membantah.

"Bukan Papa kamu, tapi orang lain." Mendengarnya jantung Viola tiba-tiba saja berdetak lebih kencang, dalam pikirannya sudah menduga suatu hal.

Kalau gitu ... apa iya gue anaknya Bunda sama laki-laki itu?

"Tapi, untuk pertama kalinya bunda mu itu patah hati gara-gara laki-laki yang dia sukai. 'Orang itu' justru malah menolak perasaan Non Vania, bahkan mengatakan hal-hal kasar ketika di dekati sama bunda mu. Diperlakukan kasar tetap gak bikin Non Vania mundur, hingga hampir dua tahun baru dia menyerah. Waktu itu bunda kamu baru naik kelas dua belas, dia pindah dari kelas lamanya. Dan di kelas yang baru, dia ketemu sama Rafi."

Jangan heran jika Irda tau banyak hal, karena Vania selalu menceritakan semuanya pada pengasuhnya itu, apalagi di rumah dia tidak punya teman sebaya yang bisa diajak bicara, dia anak tunggal.

Irda melanjutkan ceritanya dengan Viola yang masih fokus mendengarkan."Mereka jadi dekat, begitupun dengan teman-temannya yang lain. Rafi tidak merasa kalau Non Vania perempuan gampangan karena banyak teman laki-laki, beda sama orang yang disukai Vania sebelumnya. Hingga mereka lulus SMA dan kuliah bareng." Senyum di bibir Irda meluntur membuat cewek didepannya bertanya.

"Kenapa, Nek?"

"Di semester akhir, tanpa diduga 'orang' yang cintai sama bunda kamu dulu malah balik lagi, dan mengajak bunda kamu untuk menikah."

"Eh ...?" Viola bergumam, bukannya 'orang itu' tidak suka dengan bundanya, lantas kenapa malah melamarnya? Apalagi ketika bundanya sudah menemukan kebahagiaan dengan orang lain.

"Tapi tentu Non Vania menolak, karna Rafi sudah melamarnya lebih dulu dan akan segera menikah. 'Orang itu' tidak terima penolakan non Vania. 'Dia' bahkan mengumbar bagaimana dulunya Non Vania sangat berharap padanya, mengemis cintanya. Tapi tetap saja Non Vania menolak. Setelah lulus, mereka menikah dan nenek berenti bekerja di sana. Anak nenek dari kampung yang menggantikan di sana."

"Bibi yang sekarang di rumah itu anak Nenek ya?" Irda mengangguk sebagai jawaban.

Viola terdiam, mencatat semua informasi penting ini diotaknya. Dia merasa mendapatkan petunjuk tentang masa lalu keluarganya.

Sekarang cuma tinggal satu, kuncinya, Bibi. Gue harus nanya sama Bibi.

"Oiya, abis Bunda nikah, Nenek gak ada dapat kabar lagi?"

"Ada, cuman ga banyak, Nenek juga harus kerja dikampung ngurus kebun sama sawah, jadi jarang bisa ke sini, cuma denger kabar dari telpon anak nenek."

"Waktu Non Vania mengandung anak pertama, lahiran, sampai mengandung anak ketiga, kamu. Juga ... kejadian itu." Lanjutnya berakhir dengan nada dan tatapan risau.

"Kejadian?"

"Ketika bunda kamu, diculik."

•  •  •

Di waktu bersamaan tapi ditempat yang berbeda. Seorang pria mematik api dan mengesap rokoknya, membuat asap-asap putih menggembung di udara. Duduk di kursinya, lalu bersandar menatap ke awang-awang.

Ruangan yang minim cahaya itu tampak menyeramkan. Sunyi, hanya terdengar suara jam yang berdetak, dan sesekali suaranya yang menghela napas karena rokok.

Pria itu menggerakkan kursinya pelan ke kanan kiri, dia menurunkan pandangannya yang tadi menengok ke atas, sekarang melirik sebuah kertas di atas meja. Tangannya membalikkan kertas tersebut, sedangkan yang lain tetap memegang rokok, dan menikmatinya.

Diantara gumpalan asap, dia tersenyum, sebuah senyuman yang terkesan licik. Suara rendahnya yang serak itu terdengar berucap pelan.

"Dia semakin mirip denganmu ya, Vania."

*****

Gimana?

Maafin typo

Makasih udah baca ^^

Syg bgt sama yg vote & komen ><

See you

༎ຶ‿༎ຶ


VIOLA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang