Bagian 52

888 53 0
                                    

"Sadar atau enggak, ada orang yang akan selalu mengharapkan kehadiran lo. Bahkan ketika lo sendiri yang nyakitin dia."

*****

"Gue suka lo, Vi."

"Iy-Hah?!"

Viola menatap Gevan terkejut, sangat terkejut tentu saja, untuk seseorang yang sangat tidak peka dengan apa saja yang sudah terjadi di sekitar, begitulah Viola.

Gevan menatap cewek yang sedang memasang tampang bodoh itu serius. "Gue suka lo, Vi." Ulangnya.

Tampak Viola terkekeh pelan sendiri, "Gue tau lo pengen ngehibur gue, tapi gak perlu gitu jug-"

"Gue. Suka. Sama. Lo. Viola!" Ulang Gevan untuk yang ketiga kalinya dengan penuh penekanan.

"Lo ... serius?"

"Serius, gue selalu serius sama lo. Tapi lo doang yang gak ngerti, Vi. Kadang gue capek juga tau gak?" Ujar cowok itu, mendadak suasana menjadi canggung karenanya.

"Gue ..., gue ...," Viola mendadak bingung. Kenapa dia jadi panik sendiri?

Haduh, gue ga tau harus ngomong apa. Mana kebelet pipis lagi.

"Kenapa?" Satu kata itu membuyar lamunan Viola.

"B-bukan, maksud gue, haduh, gimana jawabnya sih?" Gumamnya pada bagian akhir sembari menggigit bibir bawahnya.

"Van ..., gue, jujur aja. Ini agak canggung, gue gak tau harus gimana ..., g-gue gak nyangka lo punya perasaan begitu ke gue. Gue, g-gue-"

"Karna lo suka Aska kan?" potong Gevan menatap langsung pada iris mata cewek di depannya. Viola terdiam, matanya seolah tidak dapat dilepaskan dari sana.

"Gue jujur aja Vi, yang gue rasain ini udah dari lama. Jauh ..., jauh sebelum orang dengan nama Aska itu kenal sama lo. Gue selalu berusaha untuk selalu ada buat lo, selalu berusaha bikin lo ketawa, bikin lo nyaman. Tapi, kayaknya lo gak ngerasain hal yang sama ...."

"G-gevan, g-gak gitu. Gue gak bermaksud-"

"Gapapa Vi, gue paham kok. Mungkin, kalau gue yang dulu gak bakal ngomong begini, tapi ..., sekarang gue ngerti apa yang dibilang sama Fikri waktu itu. Kalau perasaan itu memang gak bisa dipaksa." Senyum sayu itu tampil diwajahnya, meski hatinya justru tidak dapat berbohong. Rasanya sakit. Tentu saja.

"Gak peduli siapa yang bakal lo pilih, mau itu gue atau Aska, gue gak peduli. Yang jelas, lo ..., gue ...," jeda Gevan sambil menunjuk bergantian pada Viola dan dirinya. "Gak bakal ada yang berubah." Lanjutnya sambil tersenyum.

"Gevan ...," gumam Viola, dia sendiri kehabisan kata-kata. Otaknya tidak bisa berfikir harus bagaimana. Yang jelas, dia mengerti, apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya.

"Makasih ..., makasih udah selalu ada buat gue."

-o0o-

Beberapa hari berlalu, hal-hal mulai menjadi normal kembali. Ya, kecuali Aska yang terlihat semakin menjauh dari mereka. Terlihat sibuk dan tidak punya waktu, mungkin juga beberapa kali terlihat seperti memang menghindar dari mereka. Ah tidak, lebih tepatnya, dari Viola.

Viola tidak mungkin tidak menyadari itu. Hampir setiap kali bertemu dia selalu tersenyum dan menyapa cowok itu dengan ramah. Namun, balasannya hanyalah ketidakpedulian yang semakin besar. Beberapa kali juga Aska terlihat menatap Viola dengan tatapan seolah menghina cewek itu.

Sementara Khanza, dia bahkan tidak dikomentari sedikitpun oleh Aska. Padahal dia sudah seperti monyet saja, berkeliaran di sekitar Aska setiap waktu.

Setelah hari itu, Gevan meminta untuk sendiri dulu. Dan sehari lagi setelahnya, cowok itu kembali lagi. Mereka bercanda, tertawa dan terkadang menghibur Viola, seperti biasanya. Begitupun dengan sahabatnya yang lainnya. Terkadang mereka membujuk Aska tapi tetap saja cowok itu berkepala batu. Selain keras, juga tidak bertelinga untuk mendengarkan ucapan orang lain.

"Bang, lo kenapa sih?" Tanya Adelio, menatap tidak bersahabat pada saudaranya itu.

Aska tidak berucap sedikitpun, hanya satu alisnya yang terangkat guna bertanya balik.

"Maksud gue ..., salah kak Viola sama lo apa sih hah?! Kenapa lo begitu amat sih sama dia! Kasian kakak gue tau gak?"

"Kakak lo? Gak salah? Cewek kayak begitu-"

"Iya dia kakak gue! Kenapa?! Jangan lo rendahin kak Viola lagi ya, muak gue lama-lama sama lo."

"Kakak lo itu dia, atau gue ha?"

Adelio terkekeh ringan, menatap kecewa pada saudaranya itu. Ketika hendak pergi, pas sekali mamanya itu keluar dari dapur.

"Lho? Pada kenapa nih? Kok ribut gak bilang-bilang? Kan bisa mama siapin dulu cemilan buat nonton." Gurau wanita itu berharap bisa menghibur keduanya. Tak tau saja keduanya, kalau mamanya itu sudah mendengar semua yang mereka perdebatkan.

"Gak tau tuh! Tanya sama anak pertama Mama sana!" Balas Adelio langsung keluar rumah dengan kesal, menyalakan motornya lalu berpacu dengan arus lalu lintas di jalanan.

Mira beralih menatap anak sulungnya dengan tatapan lesu, namun terselip juga perasaan kecewa di sana.

"Ka ...,"

"Mama gak akan ngerti."

"Makanya ngomong dulu sama mama. Biar mama ngerti, ya?" Terdengar helaan napas yang panjang dari mulut Aska. Dia tau jika tidak dijelaskan, mamanya ini akan terus bertanya. Itu tentu merepotkan, apalagi ketika papanya ikut-ikutan.

"Wahh, rame rame nih." Lihat, orang yang tidak diharapkan muncul oleh cowok itu, justru sudah hadir di sini dengan menenteng tas kerjanya saat ini.

"Daddyyy sayangg!!" Seru Mira berbalik dan menghampiri suaminya dengan riang, merentangkan kedua tangannya.

"Mommyy-ku sayaangg!" balas pria itu juga merentangkan kedua tangannya, menyambut tubuh mungil istrinya yang hangat itu.

Danu namanya. Pria pemilik salah-satu perusahaan tersukses di negeri ini. Wajahnya tampan, pembawaannya tegas, hampir semua karyawan dan rekan kerja segan juga takut kepadanya. Seolah takut diterkam olehnya kapan saja.

Ah tidak, beda cerita kalau itu di rumah. Apalagi ketika sudah bersama istrinya. Lihatlah sekarang, bahkan Aska saja sudah muak melihat ini dari dulu. Papanya yang tegas itu sekarang menjelma menjadi makhluk bucin yang tidak tau tempat.

"Gini amat jadi gue." Gumamnya kesal.

*****

Yow.
Gimana kabarnya? Semoga baik selalu, aamiin.

Sorry baru bisa update, ngehehe.
Thanks udah mampir ke cerita gaje ini, yaa.
Lop u

VIOLA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang