“Lucu, semesta seringkali bermain dengan jalannya takdir. Sayang sekali, tidak ada yang tertawa karenanya.”*****
"Vi, lo tau gak? Kata guru-guru, nilai lo bagus." Monic berucap riang, dia ingin menghibur Viola yang sendirian di ruang pasien itu."Yang bener? Alah bohong kali lo, orang gue aja gak belajar tuh."
"Yeh, nih bocah di bilangin malah kagak percaya. Liat aja nanti deh! Tunggu pas hari pengumuman kelulusan, gue yakin ada nama lo."
Viola hanya tersenyum lebar, dia mengikuti ujian akhir itu di rumah sakit, memang benar dia tidak terlalu belajar, dan tanpa menyontek tentu saja.
"Gue ngantuk Mon, tidur yuk."
"Yeh, udah ngantuk aja lo. Masih jam setengah sembilan tau. Tapi gapapa deh, lo istirahat yang cukup ya, sahabat tersayang guee. Muah!"
"Geli banget gue, asli."
"Bangke, jahat lo Vi."
"Yaudah, byee Mon." Viola langsung menutup panggilan itu, meski tahu bahwa Monic pasti akan mengomelinya ketika bertemu nanti.
Memandang pada celah jendela, cewek itu dapat melihat sedikit cahaya sang bulan yang menerangi langit malam di sana. Viola tersenyum, kemudian membaringkan badannya dan tertidur.
Tepat setelahnya, Raka dan Rega masuk ke dalam sana. Tadi Viola sendiri yang mengusir mereka, dia ingin menelpon berdua dengan Monic.
Kedua saudara itu hanya bisa memandang lemah pada adiknya.
"Bang ..., kita bawa Viola ke luar negeri aja, ya?"
"Maunya sih juga gitu. Tapi ...."
"Gue tahu. Papa masih gak percaya sama-sekali." Raka menoleh pada Rega yang berucap dengan nada geram itu.
"Gue bingung, kenapa hasil tesnya gak keluar-keluar ya? Dokternya juga gak ada kabar." Sambung Rega.
"Entahlah ...."
—o0o—
"Vi, pokoknya lo harus sembuh, oke?" suara Gevan terdengar dari perangkat canggih itu."Hooh."
"Gue serius, cuy!"
"Yang bilang lo ngelawak siapa?" Gevan menggerutu sendiri karenanya, Viola terkekeh sebelum kembali berbicara.
"By the way, kok di tempat lo rame banget? Lo di mana?"
"O-oh ..., biasalah. Anak-anak pada ngumpul."
"Kayak udah punya anak aja lo."
"Serah lo deh Vi, seraaahh!"
"Yaudah, gue matiin, ya?"
"Loh? Kok udah mau lo matiin, sih?! Nanti dong—tut"
"Pasti tuh bocah lagi teriakin HP-nya." Viola tertawa sendiri membayangkan Gevan yang kesal karena perbuatannya.
Viola melirik pada layar handphone milik Raka itu. Sepuluh hari lagi, dan mereka akan lulus. Banyak juga dari siswa-siswi angkatannya yang sudah mendaftar maupun di terima di perguruan tinggi. Dia? Ah, tidak. Meskipun sudah berkata pada yang lain kalau ia sudah memilih universitas, tapi itu hanyalah kebohongan.
Pintu ruangan itu di masuki oleh seseorang, siapa lagi kalau bukan dokter yang bahkan langkah kakinya saja, Viola sudah hafal.
"Gimana hari ini?" Tanya Rian, seperti biasanya. Dan kalau sudah begini, makan jawaban Viola juga pasti masih sama, yaitu—
KAMU SEDANG MEMBACA
VIOLA [SELESAI]
Teen Fiction"𝓑𝓮𝓻𝓪𝔀𝓪𝓵 𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓪𝓼𝓲𝓷𝓰, 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓴𝓱𝓲𝓻 𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓭𝓲 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓻𝓽𝓲." Baru kisaran tiga bulan cewek satu ini pindah ke sekolah baru, tapi sudah membuat namanya kesohor ke seantero sekolah karena prestasi yang dibuatnya. Ya, prestasi...