kabut duka

39 9 39
                                    

Warning for typo

Jibran pov

Aku sadar dari pingsan, sosok Juan duduk tak jauh dari tempat aku berbaring. Aku berharap ini mimpi, namun saat terduduk dari tempat tidur aku mampu melihat Kresna yang sedang terduduk di pojokan ruangan sambil terus terisak.

"Jib.." lirih Juan.

Matanya sembab, bahkan suaranya terdengar sangat pelan.

"Siapa yang bawa gue ke sini?"

"Tadi naik mobil suaminya Bunda Yasmin." Jawab Juan.

Dia nampak sedikit panik sambil sesekali menengok ke arah Kresna yang tampak tidak perduli kalau aku sudah sadar dari pingsan.

"Na.." bisik Juan pada Kresna yang terus menangis sambil memalingkan wajah dariku.

"Kresna.." panggilku dengan suara gemetar, bahkan air mataku mulai berkumpul di pelupuk mata.

Kresna bangkit dan menghadap ke arahku, air matanya sudah dia hapus secara paksa beberapa detik yang lalu sebelum bangkit dan mendekat ke arahku. Kemudian dia duduk tepat di sampingku.

"Yang kuat ya Jib.." katanya sambil menepuk bahuku pelan.

Aku menundukkan kepalaku, tau kalau Kresna juga sedang berbohong dengan ucapannya. Mana mungkin dia tega menyuruhku untuk kuat sementara dirinya cukup kacau seperti sekarang.

"Jenazahnya abah udah datang?" Tanyaku.

Juan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Jibran, ada yang mau ketemu." Tiba-tiba dari arah pintu teh Sonia menyembulkan kepalanya dan memberitahu kalau ada tamu yang mau bertemu.

Aku mengiyakan ucapannya kemudian bangkit dari atas ranjang di bantu oleh Kresna dan Juan.

Tamu yang sama sekali tidak pernah aku sangka ternyata, anak laki-laki itu berdiri ketika melihatku keluar dari dalam kamar. Dia berjalan mendekat kemudian memelukku erat.

"Gue minta maaf, tolong maafin gue.."

Aku terdiam, meski dalan hati semuanya sudah kacau karena kejadian tidak terduga seperti saat ini.

Jevan datang ke sini, dia memelukku dan terus berujar kata maaf dan terimakasih.

".. kalau gak ada abah sama bantuan lo waktu itu, sampai sekarang gue masih di penjara Jib."

Aku mengangguk kemudian melepaskan pelukannya, menatap wajah Jevan. Dia menangis. Di belakangnya ada seorang wanita paruh baya yang sudah sangat jelas aku kenali siapa namanya.

"Mama.."

Wanita paruh baya itu datang mendekat ke arahku, dia bersimpuh di depan kakiku.

"Maafin mama, mama banyak salah sama aa. Sama Abah, maafin mama.." ucapnya sambil terus menciumi kakiku.

"Astagfirullahaladzim, mama jangan begini." Segera aku langsung meraih tangannya dan membantunya berdiri.

"Jangan maafin mama nak, mama terlalu banyak salah sama kamu.. sama Abah."

Aku langsung merangkulnya bahu mama, tangisku pecah beberapa saat kemudian. Dia memelukku erat sambil sesekali mengelus rambutku.

"Maaa... Abah ninggalin aa.. Abah udah gak sayang sama aa.."

Mama Astin menggelengkan kepalanya, dia menghapus sisa air mata di pipiku.

"Jibran jangan ngomong gitu, Abah gak pernah gak sayang sama Jibran, Jibran dunianya abah. Abah gak pernah pergi kemana-mana.. Abah selalu ada di samping Jibran." Ujar mama sambil menangkup kedua pipiku.

Anak, Pak Sutisna.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang