"Bolehkah aku menangis? aku lelah berpura-pura tegar dalam keadaan hancur."
–Naufal Dary Abiyyu–
——Happy reading——
"Assalamualaikum, Ma, Naufal pulang." Laki-laki berjaket denim itu terdiam di ambang pintu, menatap datar keributan di hadapannya. Lagi, lagi, dan lagi, ia kembali melihat pertengkaran antara kedua orang tuanya.
Ia pikir jika ia pulang, maka semua masalah yang ia hadapi hari ini, akan hilang begitu saja. Tapi ternyata tidak, justru diam di rumah akan membuatnya semakin tertekan. Pertengkaran di hadapannya itu sudah seperti makanan sehari-hari untuknya.
"Kamu bisa gak sih, didik anak kamu dengan baik?! Saya malu sama para rekan bisnis saya, Saya malu anak kamu selalu buat masalah dan terus berurusan dengan kepolisian. Saya malu sama para tetangga yang selalu gosipin tentang keburukan anak kamu!" ucap pria paruh baya dengan setelan jas kantornya. "gara-gara satu kolega bisnis saya menarik investasinya, karena tau tentang kelakuan anak kamu, kolega yang lainnya jadi ikut menarik semua investasi mereka. Kalau begini terus, saya bisa bangkrutt!!"
"Tenang dulu, Mas, kan bisa dibicarain baik-baik."
"Dibicarain baik-baik gimana? Kelakuan anak kamu makin hari, makin parah!" potong pria itu dengan nafas memburu.
"Mau gimanapun dia tetep anak kamu, Mas," ucap wanita yang diketahui istrinya itu.
"Anak saya? Saya, gak pernah anggap dia anak saya! Gak ada anak yang terus-terusan merusak dan jatuhin nama baik orang tuanya. Mau taruh dimana muka saya ini, punya anak kaya dia? Memalukan!!"
Hati Naufal tercelos mendengar penuturan pria itu. Sebenci itu kah sang ayah pada dirinya, sehingga tidak mau mengakui dirinya sebagai anak? Sebesar itu kah masalah yang ia lakukan, sampai sang ayah sangat marah padanya?
"Astagfirullah, Mas. istighfar, Mas, kamu gak boleh bilang kaya gitu!" tukas Sintia menggeleng pelan.
"Mau sesering apapun kamu menyangkal, kalau memang itu faktanya, kamu bisa apa?!" tanya Gerry kesal.
"Naufal masih kecil, Mas, kita cuma perlu nasihatin Naufal. Gak perlu sampai marah-marah kaya gini," ucap Sintia berusaha menenangkan suaminya.
"Masih kecil kamu bilang? Umur dia udah 17 tahun! Dia bukan anak kecil lagi, yang dikit-dikit dinasihatin!" sentak Gerry marah. "dia udah dewasa, harusnya dia bisa bedain, mana yang baik mana yang enggak!"
"iya, Mas, aku ngerti, tapi kan–"
"Tapi, apa? Mau menyangkal lagi?! Kamu kenapa jadi belain dia terus? Kamu setuju, sama apa yang selama ini anak kamu perbuat?!" Gerry menatap Sintia dengan pandangan menyalang.
"Bukan gitu, Mas. Naufal cuma perlu dilembutin, dia perlu dinasihatin juga perlu perhatian dari kita. Apalagi Mas, selaku ayahnya. Kalau kita bisa memberikan itu, pasti Naufal bakal nurut," tutur Sintia berusaha untuk tetap sabar.
"Omong kosong! Kamu selalu manjain dia, tapi buktinya apa? Dia malah makin ngelunjak!" tukas Gerry sarkas.
Sintia menggeleng pelan, ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Sang suami tidak pernah mau mengalah, dan tidak mau mendengar penjelasan darinya. Naufal selalu menjadi pelampisannya saat pria itu marah, selalu mencari-cari kesalahan Naufal agar bisa mengeluarkan semua amarahnya.
"Ma." Laki-laki yang sedari tadi memperhatikan pertengkaran tersebut, mulai melangkah pelan ke arah sang mama.
"Sayang." Sintia menatap Naufal cemas, ia takut anaknya itu mendengar semua perdebatan antara dirinya dengan Gerry.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAGAKEYLA (TERBIT)
Novela Juvenil(Sudah terbit dan open po di ig @luxurypublisher1) Beberapa part terakhir sudah diunpub Saga Febriano. Pria dingin dan irit bicara, sekalinya berbicara perkataannya bisa menyakiti orang lain. Selalu memakai seragam urak-urakan, tapi penampilan terse...