"Abang! Turunin ih. Kek anak kecil aja digendong-gendong!"Saat ini Reina sedang digendong Zehan seperti menggendong anak kecil. Salahkan saja tubuh Reina yang paling kecil diantara keluarganya. Salsabila saja lebih tinggi dari Reina.
"Adek, jangan gerak gerak. Nanti jatuh loh." Kianzee menahan tubuh Reina agar tidak jatuh.
Fadly yang berada dibelakang hanya bisa terkekeh. Mereka berempat baru saja pulang sekolah bersama. Karena Zehan gemas dengan Reina, alhasil dia menggendonya tapi Reina tidak suka.
Lalu mereka sampai di ruang keluarga, Zehan menurunkan Reina di samping Anesa. Di ruang keluarga ada Nadia, Salsabila, Olivia, Riko dan Anesa.
"Haha, kenapa cemberut gini?" tanya Anesa sambil mencubit kecil pipi Reina yang terlihat memerah. Reina memeluk Anesa dari samping.
"Kamu apain Adeknya, Zehan," ucap Olivia pada Zehan. Olivia juga duduk mendekati Reina.
"Gak ada kok Ma. Itu Adek keliatannya kecapean, yaudahlah Zehan gendong aja," ucap Zehan, lalu dia ikut duduk di sofa. Dia melirik ke arah Reina.
Olivia mengelus lembut kepala Reina. "Kenapa sayang, hm?" tanya Olivia lembut. Lalu dia mengecup singkat pipi Reina.
"Iih, Mama ngapain cium-cium." Reina terkejut dengan perlakuan Olivia.
"Emang gaboleh?"
"Bo-boleh kok."
Reina gugup, karena dia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Reina hanya merasa sangat asing. Jangankan dipeluk, ibunya bahkan hampir tidak pernah mengelus kepala Reina seperti tadi.
Lalu Reina tiduran di paha Anesa. Terlihat jelas kalau wajah Reina sangat kelelahan, entah apa sebenarnya yang membuatnya kelelahan. Anesa memyadari itu.
"Reina kenapa? Capek?" tanya Anesa sambil mengelus lembut rambut Reina.
Reina mengangguk pelan dengan menatap sayu langit-langit mansion. "Rein kangen Nenek," ucap Reina dengan suara pelan.
"Kamu ada-ada saja. Padahal kamu lihat Nenek tiap hari." Anesa tersenyum lucu mendengar Reina yang merindukan dirinya, padahal Anesa tidak kemana-mana.
"Gak tau, Rein kangen aja." Reina bergerak duduk. "Yaudahlah, Rein mau ke kamar. Ngantuk," pamit Reina kepada semuanya. Lalu dia meninggalkan ruang keluarga sambil menenteng tasnya.
"Kenapa tuh, si Adek." Salsabila bertanya-tanya. Zehan, Fadly dan Kianzee hanya mengedikkan bahu
Fadly menatap Salsabila mengintimidasi. "Salsa, kamu udah minum obat kan?" tanyanya menyelidik.
"Udah kok."
"Awas kalo gak minum."
"Iyaloh." Salsabila menatap sebal Fadly. Selalu saja begitu, pikir Salsabila.
.
.
.Setelah Reina masuk ke kamarnya, dia mendatarkan wajahnya. Melempar asal tasnya ke kasur, melonggarkan dasinya dan langsung tiduran di kasur.
"Semuanya telah berubah, tidak seperti dulu lagi," ucap Reina sambil menatap langit-langit kamarnya. "Kemana kehidupan tenang itu? Kenapa aku tidak mendapatkannya lagi?" Reina bertanya-tanya dalam hati.
"Padahal aku sudah berusaha untuk menghindari semua masalah yang terjadi di masa depan." Reina lalu terduduk, menatap kosong lantai kamarnya. "Tapi tetep. Gila kali ya," lanjutnya.
"Kenapa mereka harus berubah? Kenapa baru sekarang mereka seperti itu padaku? Di saat aku sudah tidak membutuhkannya lagi, mereka baru memperlakukanku begitu." Reina menatap dingin ke lantai, dia mencengkram kuat sprei kasur.
"Gila! Dasar gila! Aku sudah tidak membutuhkan itu lagi. Aku udah gak butuh perhatian Abang, aku udah gak butuh perhatian Kakak, aku udah gak butuh kasih sayang Mama Papa." Reina semakin emosional. Batinnya merasakan sakit.
"Aku udah gak butuh mereka semua. Tolong buat mereka seperti dulu lagi, Tuhan. Seperti lima belas tahun lalu," ucap Reina lirih. Dia menatap sendu lantai kamarnya.
Lalu Reina memaksakan dirinya untuk tidur tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Reina mencoba tidur dengan perasaan yang terlalu emosional.
Reina juga manusia, dia butuh kasih sayang dan perhatian. Tapi itu tidak dia dapatkan selama 15 tahun. Sampai pada akhirnya, hatinya telah mati, dia sudah tidak butuh itu lagi.
Reina hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri, tanpa meminta bantuan keluarga sedikitpun. Reina benar-benar hidup mandiri sejak kecil, dia telah dewasa sebelum waktunya.
Dia yang paling bisa mengerti orang lain, tapi tidak ada yang bisa mengerti dirinya. Ketahuilah, Reina juga butuh dimengerti, tapi tidak ada yang peduli.
Dia yang paling bisa menyimpan segala rasa sakitnya, sampai orang mengira kalau dia baik-baik saja. Paling bisa mengontrol emosinya, sampai kalau Reina kelepasan, dia bisa menjadi orang yang sangat emosional.
Pagi harinya.
Reina sudah sampai di kelasnya lebih cepat. Reina bangun pagi dan sarapan secepat mungkin, sebelum semua keluarganya sarapan. Reina sampai di sekolah jam 6 pagi, sekolahnya masuk 7.25.
"Hai." Alfino tiba-tiba masuk ke kelas Reina. Dia duduk di samping Reina yang sedang fokus membaca novel.
Reina sedikit terkejut melihat ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Reina menghentikan aktifitas membacanya. "Cepet kali kau dateng?"
"Aku memang selalu cepet dateng. Harusnya aku yang nanya, kau kok udah dateng?" tanya Alfino bingung. Tapi dia senang bisa berduaan dengan Reina seperti sekarang.
"Pengen aja," jawab Reina singkat. Lalu dia melanjutkan aktifitas membacanya.
Akhir-akhir ini Alfino memang selalu mendekati Reina kalau ada kesempatan. Reina juga tidak merasa terganggu dengan itu, Reina merasa sedikit nyaman?
"Emm, Rein," panggil Alfino.
"Hm?"
"Nanti malem ada waktu gak? Aku mau ngajak kau jalan," ucap Alfino ragu-ragu. Reina menatap Alfino yang berada di sampingnya.
Reina terdiam sejenak, lalu dia mengangguk. "Ada? Tapi ada satu masalanya," ucap Reina yang kembali fokus ke bukunya.
"Papa aku gak ngijinin. Beliau kerasukan, tiba-tiba aja protective gitu, aneh," ucap Reina. Alfino menatap heran kepada Reina.
"Kok aneh sih? Itu berarti dia sayang sama kau, takutnya anaknya kenapa-napa. Nanti biar aku yang ngomong ke Papamu. Tenang aja," ucap Alfino, membuat Reina mengangguk.
"Mau kan?" tanya Alfino lagi.
"Mau, tapi kau bandari aku, lah. Males ngambil duit ke ATM." Reina menatap Alfino dengan senyuman. Melihat itu, Alfino ikut tersenyum.
"Tenang aja kau. Ku bandari kau sampe puas. Enggaknya miskin aku," ucap Alfino.
"Sip lah. Gitu dong, nanti rumahku ku serlok dari WA." Reina menutup bukunya.
"Oke." Alfino mengacungkan jempol. Lalu Alfino berbalik badan.
"Yes," soraknya dalam hati.
Tak lama kemudian, satu persatu teman Reina masuk ke kelas. Mereka melirik Alfino yang duduk di sebelah Reina.
"Yaudah, aku pergi ya." Alfino pamit pergi dari kelas karena sudah mulai ada orang. Reina melirik Alfino, lalu Alfino mengedipkan sebelah matanya.
Setelah berbalik untuk pergi, Alfino kembali mendatarkan raut wajahnya seperti biasa. Orang-orang yang melihat itu hanya bisa melongo. Cepat sekali dia merubah ekspresi wajahnya itu? Pikir mereka.
"Cih, depan Reina aja sok-sok manis. Padahal mukak udah sebelas dua belas sama triplek." Said menatap sinis kepergian Alfino. "Iyalah, yang sama calon ayang." Lalu Said menatap Reina.
"Cieee, yang tadi ngobrol sama calon ayang." Rana menyenggol bahu Reina.
"Berisik!"
Bersambung~~
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is Rein | End
Teen FictionFollow sebelum membaca. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Kalau ada yang bertanya, siapa yang hidupnya paling santai? Jawabannya adalah Reina. Yang sikapnya selalu berubah-ubah? Jawabannya adalah Reina. Siapa yang pecinta kopi? Jawabannya adalah Reina? Selalu...