Reina Hancur

566 57 3
                                    

Terkadang, tanpa disadari, seseorang berusaha melindungi walaupun dengan cara yang menyebalkan.

Plak.

Plak.

Ketika Reina sudah sampai di mansion Aflastar. Dia langsung mendapatkan dua tamparan keras sekaligus. Reina hanya diam menunduk.

"Kali ini kau memang tidak bisa dimaafkan, Reina." Mahardika menatap anaknya itu dengan sangat datar. Rasanya amarahnya ingin meledak-ledak sekarang.

Ya, video yang menunjukkan kalau Reina adalah perempuan murahan, sudah sampai ke keluarganya. Mereka merasa sangat malu dan sekaligus sangat marah. Padahal yang ada video itu belum Reina, walaupun di scene awal memang Reina. Orang yang memfitnahnya sangat pintar memanipulasi.

"APA YANG KAU LAKUKAN BODOH! KAU MENJADI PEREMPUAN MURAHAN DI LUAR SANA! IYA!" bentak Alden yang sudah terlihat sangat marah.

"Apa uang yang kami berikan masih kurang? Sehingga kau berbuat hal menjijikkan seperti itu?" ucap Mahendra juga.

Uang? Reina bahkan jarang sekali memakai uang yang keluarganya berikan untuknya. Dia lebih nyaman memakai uang yang dia hasilkan sendiri.

Tatapan mereka semua seperti ingin membunuh Reina. Reina tidak kaget lagi, karena itu pasti akan terjadi. Memangnya siapa yang akan percaya dirinya?

"Kakak kecewa padamu Reina, kau bukan adik Kakak lagi." Salsabila yang sudah merasa sangat kecewa, memilih pergi dari ruang keluarga.

"Bunda tidak menyangka kalau kamu melakukan hal sekotor itu. Kenapa kau jadi seperti ini, Reina. Apa yang salah denganmu?" Nadia memegang kedua pundak Reina.

"Menjijikkan, kau bukan Reina adikku. Pergi kau dari hadapanku." Alden mengalihkan pandangannya, enggan menatap wajah Reina. Dia tidak menyesal karena sudah menampar adiknya.

"Untung saja Kakek dan Nenek sedang ke luar negri, entah apa yang terjadi kalau mereka mendengar berita ini. Kau, benar-benar memalukan keluarga." Kianzee menunjuk Reina dengan pandangan tidak suka.

"Tidak usah temui saya lagi, Reina. Sebelum saya kehilangan kendali lagi," ucap Fadly dingin. Tatapannya seperti tatapan Fadlan dulu pada Reina ketika melakukan kesalahan.

Faktanya memang Fadlan dan Fadly tidaklah berbeda jauh. Mereka sama-sama sakit jiwa, hanya saja Fadly menahannya untuk tidak memperlihatkannya. Sehingga Reina tidak tau, seperti apa sifat Fadly sebenarnya.

"Dia tidak pantas menjadi bagian dari kita." Zehan juga ikut bersuara.

Reina hanya tersenyum. Bukan tersenyum senang, tapi senyuman yang mengartikan kalau dia sedang terluka. Lalu Reina menatap Olivia dalam.

"Mama ingin mengusirku juga?" tanya Reina langsung. Mungkin ini adalah harapannya yang terakhir, berharap kepercayaan ibunya sendiri.

Kata orang, ibu adalah sosok yang sangat sayang pada anaknya. Dia akan selalu memaafkan kesalahan anaknya sebesar apapun itu. Ibu adalah sosok malaikat di dunia nyata.

"Mama percayakan sama aku? Kalau aku gak ngelakuin hal sekotor itu?" Reina bertanya dengan penuh harap.

Sebut saja Reina bodoh. Dia berkata jujur dengan mengatakan kalau dirinya tidak melakukan hal kotor itu tanpa bukti. Bagaimana caranya orang bisa percaya padanya?

"Pergilah." Hanya itu yang Olivia ucapkan.

Reina mengangguk paham. Dia tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. "Aku tau, Mama pasti akan mengatakan itu. Mama juga gak percaya sama aku."

"Baiklah, aku akan pergi. Pergi sejauh mungkin, dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini." Reina berucap dengan lirih.

Reina menatap dalam Olivia. "Aku tidak mengingkari janjiku kan Ma? Karena kalian sendiri yang meminta, maka aku akan pergi." Ucapan Reina membuat Olivia tertegun.

"Mama bilang akan selalu menyayangiku walaupun aku melakukan kesalahan besar. Tapi apa?" Reina berhenti sejenak, dia menelan salivanya.

"Semuanya hanya omong kosong. Aku pergi, terima kasih atas semua lukanya. Aku menyayangi kalian semua." Reina langsung berbalik dan pergi dari mansion itu. Olivia ingin sekali menghentikannya, tapi pikirannya melarangnya.

Reina pergi dengan membawa luka yang cukup dalam. Fitnah memang lebih kejam dari pembunuhan. Akankah kebenaran akan terungkap nantinya?
.
.
.

Reina berjalan tanpa arah, dia hanya membawa tas sekolahnya, bahkan seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Untung saja di dalam tas itu terdapat ponsel, laptop dan kartu ATM miliknya. Di kartu itu terdapat sejumlah uang yang dia hasilkan sendiri berkat menjadi ilustrator dan programer.

Uang itu sangat cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Lagian Reina masihlah seorang ilustrator terkenal, yang selalu mendapatkan puluhan klien setiap harinya. Jangan lupakan fakta kalau Reina adalah Nastar. Ilustrator yang paling disegani ilustrator lainnya.

Hujan turun dengan derasnya, seakan-akan mewakili perasaan Reina saat ini. Dia bahkan tidak peduli kalau dirinya sudah basah kuyup, Reina terus berjalan tanpa arah.

Karena terus berjalan, akhirnya Reina merasa lelah dan memilih duduk di trotoar jalan. Orang-orang yang melihat Reina merasa kasihan. Mungkin anak itu sedang terkena masalah besar, pikir mereka.

Reina menangis. Ya, dia menangis karena terlalu besar masalahnya hari ini. "Baru kali ini aku merasa sehancur ini," batin Reina.

Orang-orang tidak tau kalau Reina menangis, karena sedang hujan. Reina kehilangan semuanya, dia paling tidak bisa kalau kehilangan sesuatu. Apalagi sesuatu yang penting dalam hidupnya, yaitu orang-orang tersayangnya.

"Bolehkah aku menangis kali ini? Rasanya begitu sakit," ucap Reina pada dirinya sendiri. Tiba-tiba saja Reina merasa hujan mendadak berhenti.

"Gak ada seorangpun yang melarang lo karena menangis." Seseorang memegang payung, melindungi Reina dari hujan. "Menangis saja kalau semuanya terlalu menyakitkan. Tumpahkan semuanya."

"Sari?"

"Iya, ini gue. Ngapain lo hujan-hujanan di sini? Lo diusir?" ucap Sari. Reina berdiri dari duduknya, menatap Sari heran. "Dan kenapa gue benci liat lo nangis? Cuman gue yang boleh bikin lo nangis."

"Kenapa kau ada disini?" tanya Reina dengan mata yang sedikit memerah karena menangis, dia mengabaikan perkataan Sari yang sedikit tidak jelas.

Reina juga bertanya-tanya dalam hati, ketika semua orang menjauhinya, kenapa justru Sari mendekat padanya? Pikir Reina. Seharusnya Sari ikut senang kalau semua orang menjauhinya.

"Jangan nangis. Gue gak suka liat lo nangis," ucap Sari ketus. "Gue tau lo bakal pergi dari rumah karena diusir," lanjutnya.

"Jadi kau sudah tau semua ini akan terjadi?" Reina menatap terkejut kepada Sari.

"Iya, dan gue percaya kalau lo gak ngelakuin itu." Perkataan Sari membuat Reina semakin mengeluarkan air mata. Sari membawa Reina kepelukannya.

Ternyata masih ada yang percaya padanya? Pikir Reina. Dan orang itu adalah musuhnya sendiri.

"Lagian mukak polos-polos mintak ditampol gini, mainnya kayak begituan? Yang bener ajalah." Sari berucap sambil terkekeh kecil. "Udah, ayo ikut gue." Sari menarik tangan Reina.

"Mau kemana?" tanya Reina dengan wajah polos sehabis menangis.

"Mau jual lo ke om om. Pakek nanyak lagi," ucap Sari sedikit kesal.

"Aku serius, pant*k." Reina juga berucap kesal.

"Lo tinggal bareng gue, kan lo udah diusir. Lagian baju lo juga basah, nanti sakit mampus lo," ucap Sari. Reina masih terdiam mencerna ucapan Sari.

Karena jengah, Sari menarik tangan Reina ke arah mobilnya yang parkir tak jauh dari mereka berdua. "Lama lo!"

Bersambung~~

She Is Rein | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang