Reina sudah selesai pembagian rapot MID semester. Dia menenteng map plastik warna hijau di tangan kirinya, dan memegang rapot hijau di tangan kanannya. Dia berjalan santai ke arah parkiran sekolah, berniat untuk pulang.Reina menatap rapot di tangannya tanpa minat. Dia tertawa kecil. "Heh, memangnya sesepesial apa peringkat pertama? Kenapa orang-orang itu sangat menginginkannya?" Reina bertanya-tanya.
Reina sudah sampai ke mobilnya. Dia langsung masuk ke dalam mobil. Reina tidak langsung melajukan mobilnya, dia duduk sebentar di kursi pengemudi.
Reina menatap lamat rapot di tangannya. Dia memutuskan untuk melihat isinya, terlihat jelas nilai yang tertera semuanya A+.
Reina tersenyum. "Bagiku tidak ada yang spesial dari ini. Lalu? Kenapa mereka sangat senang? Dasar orang-orang aneh." Reina lalu menyimpan rapotnya ke dalam tas.
Map plastik yang ada dipangkuannya, dia lemparkan asal ke kursi penumpang yang ada di belakang. Dia tidak berniat melihatnya sedikitpun. Lalu Reina melajukan mobilnya menuju mansion.
Reina selalu melakukannya, kertas-kertas itu tidak berguna bagi Reina. Bahkan dia pernah membuangnya ke tong sampah waktu di Amerika, karena membawanya terlalu ribet.
Dulu Reina pernah sangat antusias, tapi itu terjadi beberapa tahun lalu. Di mana dia baru saja menerima hasil ulangan pertamanya di kelas 1 SD.
Gadis kecil itu dengan mata berbinar, berlari ke arah ibunya dengan membawa kertas hasil ulangan di tangannya. Dengan semangat dia menunjukkan kertas itu ke orang tuanya.
"Mama mama, lihat! Rein dapet nilai seratus." Reina kecil memperlihatkan kertas itu ke ibunya dengan antusias.
"Iya bentar ya sayang. Mama mau buat makanan buat Kakakmu dulu," ucap Olivia tanpa menoleh ke arah Reina sedikitpun.
Reina menekuk wajahnya sebentar, lalu dia melihat Mahardika hendak keluar. "Papa lihat! Rein dapet seratus. Kata bu guru, Rein pintar," ucap Reina dengan semangat.
"Nanti Papa liat ya, dokter Kakakmu menelpon. Katanya Kakakmu kambuh lagi," ucap Mahardika sambil mengelus kepala Reina. Lalu dia mengecup kening Reina, dan pergi dari sana.
Reina menunduk sedih, tapi itu hanya sesaat. Sesaat kemudian dia melihat ketiga saudaranya. "Abang, Kakak, lihat-"
Tapi ucapannya terpotong. "Abang sama Kakak pergi dulu ya, Dek. Salsa kumat lagi. Nanti kita main ya," ucap Alden mewakili. Mereka bertiga mengecup pipi Reina bergantian, lalu pergi meninggalkan Reina sendirian.
Lalu kesedihan menghampiri Reina lagi. Dia melihat kertas di tangannya, kenapa mereka tidak ada yang mau melihatnya walau sebentar? Padahal itu adalah hasil ujian pertamanya.
"Mungkin kertas ini memang gak guna. Pira nipu, katanya kalau nilai seratus bisa buat Mama Papa bangga. Kenapa aku harus percaya Pira." Reina membuang ekspresi sedihnya, dia meletakkan hasil ulangannya di meja makan begitu saja.
"Non, kenapa?" tanya salah satu maid.
"Rein mau susu. Buatin ya Bi, nanti mau ikut Mama ke rumah sakit," pinta Reina pada maid itu, maid itu dengan sigap langsung membuatkan apa yang Reina minta. Lalu Reina langsung ke kamarnya untuk mengganti baju.
Bagaimana mungkin anak berumur 6 tahun bisa berpikiran seperti itu? Dan pemikiran Reina waktu umur 6 tahun, terbawa sampai dia dewasa. Semenjak saat itu, dia tidak lagi senang kalau mendapat nilai tinggi.
Ya, Reina pernah seantusias itu ketika pertama kalinya mendapatkan nilai tinggi. Sejak saat itu juga, pemikiran Reina berbeda seperti anak-anak seumurannya.
.
.
.Reina sudah rapi dengan pakaian casual. Sepertinya Reina ingin pergi keluar. Mahardika yang melihat itu menghentikannya.
"Mau kemana kamu?" tanya Mahardika.
"Papa gak liat? Ya aku mau keluar lah," jawab Reina tak acuh. Dia kembali melanjutkan jalannya.
"Nggak! Kamu ga boleh keluar. Papa gak ngijinin," ucap Mahardika menggeleng tegas. Reina menatap tak percaya pada ayahnya. Tumben-tumbenan Mahardika melarangnya.
"Bentar aja loh Pa. Kemaren-kemaren Papa gak masalah tuh," ucap Reina membantah.
"Nggak! Ini sudah malam, lebih baik kamu masuk." Mahardika tetap melarangnya. Reina menatap tak suka, selama ini dia tidak pernah dilarang melakukan ini itu.
"Pokoknya Rein tetep mau keluar." Reina mengindahkah perkataan ayahnya.
"Masuk Reina!"
Reina terkejut mendengar suara itu, itu suara Mahendra, pamannya. Selama ini pamannya tidak peduli apapun kecuali menyangkut Salsabila dan istrinya.
"Kenapa, Yah?" tanya Reina menatap Mahendra tak percaya.
"Dengar saja apa yang dibilang Ayahmu." Nadia memberikan nasehat.
"Tapi Bun-"
"Gak ada tapi-tapi Reina. Saya bilang masuk! Tidak ada acara keluar malam. Kami tidak mengizinkanmu." Mahendra menatap dingin Reina.
Reina bukannya takut, dia tetap melangkahkan kakinya untuk keluar. Sebut saja Reina anak durhaka, karena dia sudah terlalu suntuk. Kalau suntuk, inilah yang Reina lakukan.
"Bodo amat."
"KEIN REINA AFLASTAR!" Mahardika mulai berteriak, anaknya ini cukup sulit diatur, pikirnya.
"Tangkap anak itu," perintah Mahendra pada bawahannya. Mereka pun bergegas mengejar mobil Reina. Mahendra dan Mahardika terduduk, mereka memijat pelipis mereka.
"Anak itu cukup memberontak ya." Riko sang kepala keluarga, akhirnya berbicara. Semua mata tertuju padanya.
"Memang Kek. Dia cukup sulit diatur, di sekolah saja kami harus selalu mengawasinya," ucap Kianzee sambil menatap Riko.
"Rein sering sekali telat pulang ke rumah. Dia suka keluar malam hari seperti tadi. Dan begadang setiap hari, dia memang sulit diatur." Alden juga bersuara, diam-diam dia memperhatikan adiknya setiap saat, walau keliatannya tidak peduli.
"Itu karena kita kurang memperhatikannya. Apalagi Papa sama Mama, seakan-akan lupa kalau masih punya anak namanya Reina." Fadly menatap sinis Mahardika dan Olivia.
"Iya, ini memang salah kami." Olivia menunduk merasa bersalah. Bukan hanya Olivia, tapi semuanya.
"Bukan salah kalian saja, tapi kita semua. Bertahun-tahun kita hanya memperhatikan Salsa, tanpa memperhatikan Reina sedikitpun. Bahkan dia sempat tinggal sendirian selama tiga tahun," jelas Anesa dengan tatapan yang terlihat merasa bersalah.
Untung saja Salsabila sudah tidur. Jika tidak, mungkin dia yang akan merasa sangat bersalah, karena dia Reina jadi terlupakan sampai sedikit tidak terkendali.
"Mulai sekarang, lebih perhatikan anak itu. Pola makannya, jam tidurnya, aktivitasnya, semua. Jangan sampai terlewatkan sedikitpun. Sudah saatnya kita memperhatikan dia, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali." Riko menyadari kesalahan terbesarnya, dia masih punya satu cucu lagi.
"Mungkin dia akan sedikit menentang. Itu tak apa, tegas saja sedikit padanya," ucap Anesa.
"Aku akan memberikan bodyguard tersembunyi mulai sekarang. Aku takut dia kenapa-napa, musuh kita terlalu banyak," ucap Mahardika sambil mengangguk.
Kali ini Mahardika akan lebih memperhatikan putrinya yang satu itu. Hubungan ayah dan anak itu sudah terlalu jauh tanpa dia sadari. Mulai sekarang dia akan menjadi ayah untuk Reina.
"Kami akan menjaganya dari dekat. Tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya," ucap Zehan berjanji.
Mereka sudah menyadari kesalahan mereka. Apakah mereka bisa memperbaiki hubungan yang sudah lama retak itu?
Bersambung~~
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is Rein | End
JugendliteraturFollow sebelum membaca. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Kalau ada yang bertanya, siapa yang hidupnya paling santai? Jawabannya adalah Reina. Yang sikapnya selalu berubah-ubah? Jawabannya adalah Reina. Siapa yang pecinta kopi? Jawabannya adalah Reina? Selalu...