Protes

692 77 0
                                    


"Bapak kalok marah ya marah aja Pak, saya tau bapak lagi capek banget. Saya sangat-sangat mengerti itu," ucap Reina dengan wajah datar dan nada bicara dingin.

"Tapi jangan Bapak lampiasin semuanya ke kelas ini. Kalok mau marah ya marahin mereka sana! Bapak bentak aja mereka. Tapi jangan di kelas ini, kami gak salah apa-apa loh Pak."

"Saya akui kelas ini bandel. Kami sering telat, sering gak ngerjain tugas, sering tidur di kelas, sering bolos jugak. Tapi jangan marah atas kesalahan yang gak kami perbuat sama sekali!" Reina meninggikan suaranya.

"Bapak tau sendiri kelas ini kelas yang selalu dilupain. Saya yang masih beberapa minggu di kelas ini aja udah ngerti kok. Tapi perlakuan Bapak ke kami seolah-olah kami kayak bener-bener gak berarti apa-apa."

"Bapak mikir gak sih? Gimana perasaan kami saat Bapak jarang banget masuk, cuman nyelesain masalah di kelas lain. Sekalinya masuk cuman mau marah-marah kayak gini. Bapak masuk ke kelas kami itu cuman dua les loh Pak, masa gak bisa ngeluangin waktu Bapak dua jam untuk ngajarin kami sih?" Reina mengungkapkan semua kekesalannya pada guru itu, yang sudah lama ditahannya.

"Kelas lain Bapak selesain masalah mereka sampe tuntas. Masa kelas sendiri gak peduli, Bapak wali kelas loh di kelas ini, masa Bapak gak mikirin sama sekali perasaan kami?"

"Kalo Bapak kecewa, kami jugak sama kecewanya asal Bapak tau!"

"Udahlah we, kita kan cuman anak tiri yakan? Anak tiri mana mungkin disayang sama guru."Reina lalu kembali ke kursinya.

Semuanya terdiam mendengar semua keluhan Reina, diam-diam teman-temannya tersenyum karena mereka merasa terwakilkan, mereka sampai merasa terharu.

Ya, mereka semua sebenarnya iri sekaligus kecewa. Pak Adi yang menjadi wali kelas mereka, malah pak Adi seperti tidak pernah mempedulikan kelas itu. Mereka jadi merasa sedikit sakit hati, apalagi perkataan pak Adi barusan.

Semua seolah-olah dilampiaskan semuanya pada mereka. Entah kenapa mereka yang menanggung kekesalan wali kelas mereka, itu membuat mereka semua kecewa. Dan hari ini Reina mewakili semua kekecewaan mereka.

Pak Adi tidak bisa lagi berkata-kata, begitu juga dengan buk Diana. Sebenarnya buk Diana juga guru 10 RPL 1, dia mengajar pelajaran KOMJARDAR (Komputer jaringan Dasar).

Mendengar semua perkataan Reina barusan, perasaan pak Adi seperti ditimpa batu besar. Dia tersadar akan sesuatu, kata-kata yang ingin dia keluarkan seperti tertahan di tenggorokan.

Dulu sebelum pak Adi menjadi wali kelas 10 RPL 1, dia belum menjadi wakil kepala sekolah. Setelah tahun ajaran baru berlangsung, tepatnya saat generasi saat ini masuk sekolah, pak Adi pun jadi wakil kepala sekolah saat itu juga. Dia juga menjadi wali kelas dari 10 RPL 1.

"Haha, iya Rein. Setelah di pikir-pikir kalo Bapak ini lagi marah pasti masuk ke sini. Kadang sakit hati sih," ucap Rana sedikit tertawa kecil.

"Bu-bukan gitu maksud saya." Pak Adi berusaha menjelaskan.

"Alah udahlah Pak. Kita ngerti kok, gapapa kalo mau marah ke sini aja, daripada dipendem nyakitin diri sendiri, yakan we," ucap Rana dan semuanya mengangguk.

"Tapi gini we yang gak enaknya, kenapa marah-marahnya ke kita doang gitu loh. Kenapa harus RPL satu, kenapa gak RPL dua atau RPL tiga gitu. Padahal kan sama-sama RPL." Arjun berbicara sambil berdiri. Entah kenapa. Satu kelas merasa lucu.

"Ya maklum lah we, namanya kita muridnya yang paling dikit. Udah pasti selalu dilupain, gak terlalu penting kita tuh," timpal Alea.

Karena Reina mewakili isi hati mereka, yang lain pun jadi ikut menyuarakan pendapat mereka masing-masing. Dua guru yang berdiri di depan kelas, hanya bisa mendengarkan keluhan murid sering sekali mereka lupakan.

"Sudah diam, maaf kalau saya kurang memperhatikan kalian. Terima kasih sudah memberikan suara, kami sebagai guru akan memperbaiki kesalahan kami kedepannya," ucap pak Adi. Tatapannya sulit diartikan.
.
.
.

Reina, Alea, dan Rasi sedang berada di kantin. Di depan mereka berdua sudah tersedia 3 mangkuk bakso dan 3 gelas es teh manis.

Reina sedikit merasa lucu dengan kejadian yang terjadi di kelas barusan. Sebenarnya dia tidak berniat berbicara seperti itu. Itu karena waktu kemaren dia sempat mengobrol dengan Kakak kelas yang ditemui Reina di cafe.

Kakak kelas itu yang sempat membantu Reina waktu menginjakkan kakinya pertama kali di SMK Afla Star. Kakak kelas itu juga jurusan RPL, anak kelas 12 RPL, namanya Desi. Reina tidak sengaja bertemu dengan Desi.

"Kakak murid Afla Star ya?" tanya Reina pada Desi duduk sendirian sambil mengerjakan sesuatu.

"Eh, kamu anak yang hari itu nanya ke Kakak kan? Jurusan RPL?" Desi menoleh kepada Reina.

"Iya Kak, nama aku Reina."

"Nama Kakak Desi."

"Ooo, kelas dua belas?" tanya Reina.

"Iya."

Lalu Desi dan Reina mengobrol-ngobrol ringan tentang masalah sekolah, sepertinya mereka berdua sefrekuensi karena bisa saling nyambung saat ngobrol. Mungkin karena satu jurusan yang sama.

"Gimana sekolahnya?"

"Ya gitu lah Kak, enak jugak. Temen-temennya baik semua, tapi ya gurunya jarang masuk. Malah ada satu mapel yang gurunya gak ada," jelas Reina, Desi mengangguk paham sambil terkekeh kecil.
"Biasa itu kalo RPL Dek. Pasti yang jarang masuk itu wali kelas kelen kan? Yang baru dilantik jadi wakil kepala sekolah?" tanya Desi.

"Iya Kak, kok tau?"

"Taulah, dia jugak dulu guru Kakak dari kelas sepuluh sampai sebelas. Muak jugak lama-lama, mukak Bapak itu aja yang nongol." Perkataan Desi seperti sudah bosan dengan gurunya itu.

"Haha, kok di kami jarang masuk ya Kak? Jadi serasa kelas kami kayak anak tiri," ucap Reina.

"Nasib kelen sama kayak kami dulu. Dulu kelas Kakak juga gitu, sering dilupain loh. Tapi tanpa kami sadari, kelas kami itu kelas spesial. Kami gak pernah di persulit sama guru-guru itu, tapi ya ... gitulah." Desi menjelaskan sesuatu.

"Serius?" Reina tertarik dengan pembahasan mereka.

"Iya, gak kayak kelas lain. Apa-apa susah kali nyelesainnya, apalagi pas jaman PKL. Kami tanpa nyari tempat PKL, udah dicari sama KAJUR tanpa kami capek nyari." Desi berbicara sambil fokus ke pekerjaannya tadi.

"Ah masa?" Reina terlihat tak percaya.

"Serius, jadi kami juga bingung. Tuh guru-guru emang lupa atau emang kami diprioritaskan. Sampek sekarang kami gak ngerasa kesusahan, bahkan saat buat laporan PKL. Kami gak ada ngerasain sama sekali yang kelas lain keluhkan," jelas Desi lagi. Reina sampai melongo tak percaya.

Bahkan sampai membuat laporan PKL? Hal yang selalu dihindari anak SMK? Benarkah begitu? Reina jadi sedikit iri.

"Tapi kenapa cuman kelas kami yang digituin Kak? RPL satu sama RPL dua gak ada tuh," tanya Reina penasaran.

"Nanti kalian tau sendirilah. Intinya RPL itu memang tiap generasi ke generasi, pasti ada kelas yang di anak tirikan. Berarti generasi kali ini itu kelen, hahaha." Desi tertawa mengejek sambil menepuk bahu Reina.

Reina jadi sedikit pusing dengan konspirasi sekolahnya ini. Kenapa bisa begitu ya? Kalau memang suatu kebetulan pun itu tidak mungkin.

Bersambung~~

She Is Rein | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang