Sudah 24 jam lamanya Reina disekap oleh Sari. Memang Sari tidak melakukan banyak hal kepada Reina. Dia tidak melukai Reina sedikitpun, tapi anehnya Sari hanya menahannya, entah apa maksudnya.Sekarang Reina tidak lagi mengkhawatirkan temannya, tapi mengkhawatirkan dirinya sendiri. Berarti sudah terhitung 24 jam dia menghilang, pasti keluarganya marah padanya.
"Hufft." Reina menghela nafas. Dia memandang Sari lesu.
"Sari, tolong lepaskan aku. Aku harus pulang sekarang." Sekali lagi Reina memohon kepada musuhnya itu. Entah Sari akan mendengarnya kali ini atau tidak. Untuk saat ini, Reina benar-benar tidak berdaya.
"Kan udah gue bilang, nanti gue lepasin lo." Sari berbicara pada Reina sambil membaca buku.
Sari menyekap Reina selama 24 jam, tapi Sari juga bersama Reina selama 24 jam juga. Sedetikpun Sari tidak pergi dari ruangan itu. Dia juga memberi Reina makan dengan cara menyuapinya walaupun sedikit kasar tentunya. Dia tidak sekejam itu sehingga tidak memberikan Reina makan dan minum.
"Keluargaku mencariku. Mereka pasti marah padaku, tolong mengertilah," ucap Reina lirih.
Sari menatap kesal ke arah Reina. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya, yaitu sebuah suntikan. "Berisik lo!"
Sari menyuntikkan suntikkan itu ke lengan Reina. "Apa yang kau lakukan!" Reina berusaha berusaha menghindar. Itu percuma, karena Sari sudah berhasil menyuntikkan cairan itu ke tubuh Reina.
"Shht."
Tak lama kemudian, Reina tertidur. Cairan itu adalah obat bius. "Tidur jauh lebih baik buat lo. Soalnya lo berisik," ucap Sari yang menatap Reina. Lalu Sari menelpon seseorang.
.
.
."Eunghh." Reina melenguh karena sudah tersadar dari pingsannya. Reina memegang kepalanya karena terasa sangat pusing, akibat efek obat bius itu.
Dia mencoba duduk dan menunduk untuk menghilangkan pusing di kepalanya. Reina belum sadar kalau banyak orang di kamarnya yang sedang menunggunya bangun. Reina masih mengumpulkan nyawanya.
Ya, Reina terbangun di kamarnya sendiri. Entah kapan dia sudah berada di kamarnya, dan entah bagaimana Sari membawanya kembali ke rumah. Tapi Reina belum sadar kalau dia sudah berada di kamarnya sendiri. Reina tersadar pada malam hari, sudah dipastikan Reina akan dihukum kembali.
Setelah rasa pusing di kepalanya berkurang, Reina menatap tempat yang dia duduki. Reina sadar kalau itu kasurnya sendiri.
"Eh, udah di kamar?" Reina bergumam, tapi dia belum juga sadar kalau keluarganya sedang berada di kamarnya.
"Ekhem." Alden berdehem cukup keras.
Merasa ada yang bersuara, Reina terkejut dan mendongak. Lebih terkejut lagi dia melihat seluruh keluarganya telah memandangnya dingin.
"A-anu, ka-kalian kenapa ada di kamar aku? A-aku mau tidur." Reina mendadak gugup sekaligus takut. Dia tidak bodoh kalau orang-orang di depannya ini sedang marah padanya.
"Tidak usah berpura-pura bodoh, Reina." Mahardika bersuara dengan suara dingin.
"Kau semakin berani ya? Sudah dihukum sampai hampir mati, bukannya kapok tapi malah makin menjadi." Zehan mendekat, tatapannya begitu datar menatap adiknya.
"Me-memangnya Rein kenapa? Rein gak buat salah apapun. Ini aja Rein di rumah gak kemana-mana." Reina berusaha membela diri, padahal terlihat jelas kebohongan di matanya.
Alden geram mendekat ke arah Reina, dia mencengkram kuat lengan Reina. Hal itu membuat Reina meringgis. Sepertinya mereka ingin sekali mematahkan lengan Reina.
"S-sakit."
"Kau tidak ada di rumah selama hampir dua hari. Dan itu kau bilang tidak kemana-mana? Kau kira kami semua buta? JAWAB!" Alden membentak di akhir.
Reina sudah bergetar ketakutan, dia tidak berani menatap wajah Abangnya. "Ma-maaf," ucap Reina pelan.
"JAWAB! KAU KEMANA!"
"Perlu kau dengar ini! Papa hampir menghancurkan seisi mansion ini hanya untuk mencarimu! Di mana otakmu sebenarnya!" marah Alden kepada Reina. Ini pertama kalinya dia semarah ini.
Olivia mendekat dan ingin menampar anaknya itu. "Jangan pukul Rein, Ma." Reina langsung menahannya, membuat keinginan Olivia berhenti.
"Maka dari itu jawab pertanyaan Abangmu!" sentak Olivia.
Reina bukannya takut dipukul, tapi dia takut tidak bisa menahan emosinya dan berakhir memukul balik. Reina tidak ingin menyakiti keluarganya sama sekali.
Reina sangat takut kalau dia menyakiti mereka dengan tangannya sendiri. Kalau hal itu sampai terjadi, dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Memang pada dasarnya, hati Reina itu sangat lembut.
"Rein ... Rein diculik." Reina berkata jujur. Entah mereka akan percaya atau tidak.
Mahendra yang mendengar itu tersenyum miring. "Diculik? Kalau kau diculik, kenapa tidak mereka bunuh? Buktinya kau tidak terluka sedikitpun."
Degh.
Perkataan itu begitu menusuk perasaan Reina. Itu sangat menyakitkan, kenapa bisa pamannya berkata seperti itu?
"A-ayah? Kau ingin aku mati?" Reina menatap sendu Reina.
"Bukan menginginkanmu mati. Biasanya orang yang diculik hanya akan pulang tinggal nama, atau pasti terluka. Tapi kau, tidak terluka sedikitpun." Bukan Reina yang berbicara, tapi Kianzee.
"Kau berbohong kan? Mengatakan kalau kau diculik?" Kianzee menatap Reina penuh selidik.
Reina menatap yang lainnya, semuanya menampilkan ekspresi seolah-olah mereka mencurigai Reina berbohong. Reina menatap tidak percaya.
"Jadi kalian berharap aku kembali dengan keadaan terluka, atau bahkan tinggal nama? Kalian sampai menyebutku pembohong?" ucap Reina lirih.
"Katakan yang sebenarnya Reina. Kalau mau berbohong, yang logika lah dikit," ucap Fadly ikut berbicara.
Reina menatap Fadly, dia mengepalkan tangannya. "Abang? Abang juga tidak percaya?" ucap Reina. Tapi Fadly hanya diam.
Reina tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. "Haha, bodohnya aku berharap kepercayaan dari kalian? Yang tidak mungkin akan terjadi." Lagi-lagi Reina rasanya ingin menangis, tapi lagi-lagi dia menahan keinginan itu.
"Lagi-lagi aku mempertanyakan kata sayang yang terlontar dari mulut kalian. Benarkah itu? Kalian benar-benar sayang padaku? Atau hanya bualan semata?" tanya Reina.
"Kami juga dengan bodohnya mengharapkan kau jujur. Dan kau juga tidak pernah menepati janjimu," ucap Riko sang kakek yang juga bersuara.
"Kalian yang tidak pernah percaya padaku. Percuma juga aku jujur." Reina memalingkan wajahnya. Dia merasa sangat kecewa. "Memang benar Reina. Mereka memang tidak akan pernah berubah. Tidak perlu mengharapkan sesuatu yang tidak pasti," lanjut Reina dalam hati.
"Jangan terus melanggar peraturan, Reina. Jangan jadi seseorang yang pemberontak. Di keluarga kita tidak ada yang sepertimu," ucap Riko lagi.
Reina sudah malas menatap wajah keluarganya. Daripada berdebat terlalu panjang, lebih baik dia yang mengakhiri lebih dulu perdebatan itu. Reina sudah capek dengan mereka semua.
"Terserah kalian ingin menghukumku seperti apa. Membunuhku pun juga boleh, aku sudah tidak peduli lagi," ucap Reina dingin. Benar, dirinya mati pun tidak masalah. Sepertinya bertemu sang pencipta juga tidak buruk.
"Baiklah kalau itu maumu." Mahendra tersenyum miring.
Coba tebak? Hukuman apa yang akan Reina terima kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is Rein | End
Teen FictionFollow sebelum membaca. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Kalau ada yang bertanya, siapa yang hidupnya paling santai? Jawabannya adalah Reina. Yang sikapnya selalu berubah-ubah? Jawabannya adalah Reina. Siapa yang pecinta kopi? Jawabannya adalah Reina? Selalu...